Laman

Jumat, 12 September 2014

HUKUM INVESTASI : CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1        Latar Belakang
Tanggung jawab sosial terhadap lingkungan pada dasarnya merupakan kewajiban setiap orang, kelompok, dan organisasi. Sementara dalam konteks perusahaan, tanggung jawab sosial itu disebut tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility-CSR).
CSR berkembang dan mengacu pada wawasan lingkungan (development) dan prinsip deklarasi Stockholm 1972 yang di masukkan ke dalam prispi-prinsip sustainable developmet yang di kukuhkan pada KTT Bumi di Rio de Jenerio tahun 1992, kemudian di KTT yang dilaksanakan di Johannesburg yang bernama World Summit on Sustainable Development (WSSD) dan menghasilkan deklarasi Johannesburg tahun 2002. Dalam deklarasi itu menghasilkan tiga konsep yaitu : social responsibility, economic dan environment sustainability. Dan juga di bahas di pertemuan antar korporat dunia di Trinidad pada ISO/COPOLCO (ISO Committee on Consumer Policy).
Dalam bahasa Indonesia CSR disebut juga sebagai "Tanggung Jawab Sosial Perusahaan". CSR diatur didalam beberapa pasal dalam UU Penanaman Modal No 25 Tahun 2007 dan UU Perseroan Terbatas (PT) No 40 Tahun 2007. Dalam peraturan tersebut mempunyai respon yang pro dan kontra di kalangan masyarakat. Di kalangan yang pro masyarakat menganggap mematuhi peraturan hukum, yang fungsi hukum itu sebagai panduan untuk menentukan sikap dan tingkah laku sesuai peran masing-masing. Tapi untuk kalangan kontra TJSP akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Bagi kebanyakan perusahaan, CSR dianggap sebagai parasit yang dapat membebani biaya capital maintenance”. Kalaupun ada yang melakukan CSR, itupun dilakukan untuk adu gengsi. Jarang ada CSR yang memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat.
Penerapan TJSP di Indonesia adapun yang sudah dilakukan diantaranya perbaikan kesejahteraan, pengentesan kemiskinan dan sebagainya. Namun sayangnya berbagai macam bantuan itu hanya dirasakan sesaat saja dan selanjutnya masyarakat kembali ke kondisinya.

EKSISTENSI YURIDIS PT. YANG TELAH DIPAILITKAN

            Tujuan utama proses kepailitan terhadap perseroan terbatas adalah untuk mempercepat proses likuidasi dalam rangka pendistribusian aset perseroan dalam rangka membayar utang-utang perseroan karena perseroan telah mengalami kesulitan keuangan yang menyebabkan insolvensi perseroan tersebut. Dengan demikian, eksistensi PT yang dipailitkan segera berakhir dengan percepatan pemberesan proses likuidasi tersebut. Prinsip utama kepailitan PT adalah menyegerakan proses likuidasi asset perseroan untuk kemudian membagikannya kepada segenap kreditornya.[1]
            Eksistensi yuridis dari PT yang telah dipailitkan adalah masih tetap ada eksistensi badan hukumnya. Dengan dinyatakannya pailit tidak muitatis mutandis badan hukum perseroan menjadi tidak ada. Suatu argumentasi yuridis mengenai proposisi ini setidaknya ada tiga landasan :
1)      Pertama, kepailitan terhadap PT tidak mesti berakhir dengan likuidasi dan pembubaran badan hukum perseroan. Dalam hal harta kekayaan perseroan telah mencukupi seluruh tagihan-tagihan kreditor dan biaya-biaya yang timbul dari kepailitan, maka langkah berikutnya adalah pengakhiran kepailitan dengan jalan rehabilitasi dan kepailitan diangkat serta berakibat PT itu kembali pada keadaan semula sebagaiman perseroan sebelum ada kepailitan. Seandainya eksistensi badan hukum PT tersebut hapus dengan adanya kepailitan, maka tentunya tidak memungkinkan adanya pengangkatan kepailitan serta rehabilitasi perseroan karena sudah hapusnya status badan hukum itu.
2)      Kedua, dalam proses kepailitan PT, maka PT tersebut masih dapat melakukan transaksi hukum terhadap pihak kedua, dimana tentunya yang melakukan perbuatan hukum perseroan tersebut adalah kurator atau setidak-tidaknya atas mandat kurator. Sehingga tidak mungkin jika badan hukum perseroan telah tiada sementara masih dapat melakukan proses transaksi tersebut.
3)      Ketiga, adalah dimungkinkannya untuk melanjutkan usaha perseroan yang dalam pailit tentunya tidak dimungkinkan seandainya eksistensi badan hukum dari PT itu sudah hapus bersamaan dengan pernyataan kepailitan PT itu.[2]

PERKAWINAN DI INDONESIA


BAB I. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
      Hubungan seorang pria dengan seorang wanita dalam ikatan perkawinan merupakan salah satu hubungan manusia yang bersifat individual. Yang pada dasarnya hubungan individual tersebut maupun hubungan yang bersifat kolektif sama-sama dilahirkan dari interaksi manusia dalam masyarakat. Sudah menjadi kodrat alam, sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Dan pada suatu masa tertentu bagi seorang pria maupun seorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan manusia lain, yang berlainan jenis kelaminnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani.
            Hidup bersama antara seorang pria dan wanita tersebut mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap keturunannya serta anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu timbulah peraturan-peraturan yang mengatur tentang hidup bersama tersebut.
Perkawinan dalam hukum perdata adalah suatu perikatan atau perjanjian. Dimana di dalam perjanjian biasa, para pihak bebas untuk menentukan isi dari perjanjian yang dibuat oleh mereka yang bersangkutan sendiri dengan catatan tidak bertentangan dengan Perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian yang telah dibuat oleh mereka maka akan berlaku aturan-aturan bagi para pihak yang membuat perjanjian. Tetapi tidaklah demikian dalam hal perjanjian berupa suatu perkawinan, walaupun suatu perkawinan itu adalah suatu perjanjian namun sejak semula telah ditentukan oleh hukum yang berisi ketentuan-ketentuan tentang perkawinan.[1]

Jumat, 04 Oktober 2013

OTONOMI DAERAH DI INDONESIA




  1.    UU Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah.

       Dalam pasal 18 UUD 1945, dikatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia ataas dasar daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengabn memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Oleh karena itu Indonesia dibagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yang bersifat otonom yang pengaturanya dilakukan dengan Undang-undang.
       Peraturan perundangan yang pertama yang mengatur otonomi daerah di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945. Undang-Undang ini dibuat dalam keadaan darurat, sehingga sehingga hanya mengatur hal-hal yang bersita darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnyapun hanya terdiri dari 6 (enam ) pasal saja dan sama sekali tidak memiliki penjelasan. Penjelasan kemudian dibuat oleh Menteri Dalam Negeri dan tentang penyerahan urusan kedaerah tidak ada penjelasdan secara eksplisit.
       Dalam undang-undang ini menetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten dan kota berotonomi. Pada pelaksanaannya wilayah Negara dibagi kedalam delapan propinsi berdasarkan penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Propinsi-propinsi ini diarahkan untuk berbentuk administrative belaka, tanpa otonomi. Dalam perkembangannya khususnya, Propinsi Sumatera, propinsi berubah menjadi daerah otonom. Di propinsi ini kemudian dibentuk Dewan Perwakilan Sumatera atas dasar Ketetapan Gubernur Nomor 102 tanggal 17 Mei 1946, dikukuhkan dengan PP Nomor 8 Tahun 1947. Peraturan yang terakhir menetapkan Propinsi Sumatera sebagai Daerah Otonom.

HUKUM KESEHATAN : EUTHANASIA



1.    Pengertian Euthanasia dan Jenis-jenis Tindakan Euthanasia dalam Pelayanan Kedokteran

                Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu “eu” yang berarti baik dan“thanatos /thanasia” yang berarti mati. Jadi Euthanasia adalah kematian yang baik tanpa penderitaan. Menurut Commisie dari Gezondheidsraad (Belanda), Euthanasia adalah perbuatana yang dengan sengaja memperpendek hidup ataupun dengan sengaja tidak memperpanjang hidup demi kepentingan si pasien oleh dokter ataupun bawahan yang bertanggung jawab kepadanya. Aksi ini dilakukan secara legal menurut undang-undang untuk pertama kali adalah di negara Belanda, negara pertama di dunia yang telah secara hukum menyetujui euthanasia. Meskipun begitu, aksi tersebut dilakukan dengan sangat hati-hati dan dengan berbagai perhitungan terlebih dahulu. Ada berbagai macam jenis euthanasia menurut cara melakukannya serta alasan diberlakukan euthanasia itu sendiri, antara lain:
  1. Euthanasia sukarela : apabila si pasien itu sendiri yang meminta untuk diakhiri hidupnya.
  2. Euthanasia non-sukarela : apabila pasien tersebut tidak mengajukan permintaan atau menyetujui untuk diakhiri hidupnya.
  3. Involuntary Euthanasia : pada prinsipnya sama dengan euthanasia non-sukarela, tapi pada kasus ini, si pasien menunjukkan permintaan euthanasia lewat ekspresi.
  4. Assisted suicide : Atau bisa dikatakan proses bunuh diri dengan bantuan suatu pihak. Seseorang memberi informasi atau petunjuk pada seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Jika aksi ini dilakukan oleh dokter  maka disebut juga,“physicianassisted suicide”

LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA



1. Pengertian Sistem Pemerintahan dan Lembaga Negara
            Dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan ditegaskan bahwa sistem pemerintahan negara meliputi :
~        Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka.
~        Sistem Konstitusional, artinya pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
~        Kekuasaan Negara tertinggi di tangan MPR sebelum perubahan UUD 1945 dan melalui Pasal 1 ayat 2 perubahan UUD 1945 ditentukan menjadi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”
~        Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di bawah majelis.
~        Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat
~        Mentri Negara ialah pembantu Presiden dan tidak bertanggung jawab kepada DPR
~        Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Moh. Mahfud MD. memaparkan bahwa sistem pemerintahan landasannya adalah pembagian kekuasan negara, disamping itu materi konstitusi tentang wewenang dan bekerjanya lembaga-lembaga negara juga disebut sebagai sistem pemerintahan negara. Moh. Mahfud MD. mengemukakan sistem pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga negara.
Philipus M.Hadjon berpendapat bahwa setelah Perubahan UUD 1945 sistem pemerintahan yang dianut adalah Presidensial. Penegasan yang dimaksud bahwa Presiden dipilih langsung oleh rakyat , masa jabatan Presiden pasti dan tidak dapat dijatuhkan ditengah-tengah masa jabatannya.
Tujuan pembentukan dari lembaga negara adalah merupakan perwujudan dari kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar. Maka dibentuklah dalam UUD 1945 lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR,DPD, Presiden , MA, BPK dan lembaga negara yang lainnya. Lembaga-lembaga negara tersebut diberikan fungsi, kedudukan dan wewewang pemerintahan yang meliputi berbagai segi.

IMPLEMENTASI RESTITUSI DALAM PERDAGANGAN MANUSIA DI INDONESIA




 1.1    Latar Belakang Masalah
       Kegiatan ekonomi berlangsung dengan pesat tanpa terikat oleh batas-batas teritorial kenegaraan, itulah era globalisasi yang sering diidentikkan dengan globalisasi ekonomi. Dibalik kemoderenan dan kemajuan dalam globalisasi itu masih terdapat praktek-praktek perilaku manusia yang tidak seharusnya dilakukan oleh manusia modern, salah satunya adalah praktek perdagangan manusia. Dimana perdagangan manusia merupakan bentuk modern dari perbudakan.
       Praktik perdagangan manusia melanggar hak asasi universal manusia untuk hidup, merdeka dan bebas dari semua perbudakan. Suatu kenyataan yang tidak menyenangkan, bahwa ternyata Indonesia tidak hanya sebagai negara asal untuk perdagangan orang, namun juga telah menjadi negara tujuan dan negara transit. Hal ini dikarenakan letak Indonesia yang strategis. Terdapat banyak penyebab perdagangan manusia dimana sebab-sebab ini rumit dan seringkali saling memperkuat satu sama lain. Pelaku perdagangan orang menyalurkan korban untuk berbagai tujuan seperti diperdagangkan untuk dijadikan pekerja seks komersil, buruh, atau pekerjaan yang tidak dibayar.
       Pemerintah Indonesiapun telah membuat kemajuan signifikan untuk memberantas perdagangan orang dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang disebut UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO, yang mengadopsi pendekatan komprehensif untuk mengatasi perdagangan manusia.