Laman

Sabtu, 15 Desember 2012

SENGKETA DAN KONFLIK DI MASYARAKAT



Konflik dan sengketa merupakan istilah yang sering di dengar dalam kehidupan sehari-hari. Kedua istilah menggambarkan tentang adanya perbedaan antara masing-masing pihak yang berkonflik atau yang bersengketa. Tidak semua konflik menimbulkan sengketa, namun sengketa itu berasal dari konflik yang ada. Istilah ini dipakai secara bersamaan untuk menggambarkan suatu kondisi bahkan sering dipergunakan secara bertukar.
            Istilah 'konflik' berasal dari kata Latin 'configere' yang berarti saling memukul. Dalam pengertian sosiologi, konflik dapat didefinisikan sebagai suatu proses sosial di mana dua orang atau kelompok berusaha menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.
            Konflik berkembang atau berubah menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keperihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain. Ini berarti sengketa merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik yang tidak dapat terselesaikan akan menjadi sengketa.

Contoh Konflik di Masyarakat :           
Konflik antara Melayu sambas dan Madura pada tahun 1999 .
            Peristiwa ini dipicu oleh peristiwa pada tanggal 17 Januari 1999. Menurut versi etnis Melayu konflik yang berawal dengan tertangkapnya seorang etnis Madura yang di duga hendak mencuri di rumah seorang warga. Tersangka pencuri ini kemudian ditangkap dan dipukuli oleh warga. Sementara menurut versi etnis Madura, tidak ada orang Madura yang mau mencuri. Yang terjadi adalah 3 orang pemuda Madura yang dalam keadaan mabuk berat kemudian diturunkan oleh tukang ojek di Parit Setia. Kemudian menggedor pintu rumah warga dan berbicara kasar kepada pemilik rumah. Sewaktu orang-orang ini membuka bajunya dalam di mereka mengeluarkan clurit. Karena ketakutan warga lalu berteriak maling. Seorang diantara mereka tertangkap dan dihajar masa sementara yang lainnya berhasil meloloskan diri.
            Bagaimanapun versi kejadian. Pada tanggal 19 Januari 1999, pecah konflik antara etnis Melayu Sambas dan etnis Madura. Saat itu 200 orang Madura menyerang Desa Parit Setia setelah usai sholad Ied. Akibatnya 3 orang etnis Melayu tewas. Peristiwa ini menimbulkan kemarahan luar biasa di kalangan warga Melayu. Dan akhirnya menimbulkan gelombang serangan balasan terhadap pemukiman Madura di daerah-daerah lain.

            Akibatnya secara keseluruhan usai Konflik 1999, data resmi menunjukan bahwa konflik ini menyebabkan 401 jiwa meninggal dunia dan pengungsian 58.544 orang Madura dari Kab. Sambas. Sampai saat ini Konflik ini diselesaikan pemerintah dengan cara memindahkan etnis Madura dari wilayah Kab. Sambas ke Kotamadya Pontianak dan Kota Singkawang.

            Kondisi ini menyebabkan etnis Madura belum bisa kembali ke daerah asalnya di Sambas. Ini disebabkan terjadinya penolakan keras dari warga etnis Melayu di Sambas bila warga Madura hendak kembali. Meski tidak resmi terdapat batas wilayah perbatasan yang boleh dilewati oleh orang Madura ke Sambas, mereka tidak pernah bisa memasukinya. Ada beberapa versi dari warga Sambas tentang wilayah terakhir yang boleh dimasuki. Bagi sebagian versi batas terakhir adalah di batas wilayah administratif pemerintahan kota Singkawang dengan Kabupaten Sambas. Namun versi lain menyebutkan batas terakhir adalah di Sungai Selakau.
            Dalam beberapa kali kejadian beberapa warga Madura pernah mencoba memasuki Sambas. Namun mereka tidak pernah kembali dengan selamat. Meskipun beberapa diantaranya dikawal oleh aparat keamanan (TNI).
Contoh Sengketa di Masyarakat :
Awan Hitam Sengketa Lahan di Gunung Sahilan, Kampar
            Bentrok masyarakat dengan perusahaan terjadi, kali ini melibatkan masyarakat Dusun Kaumang Desa Gunung Sahilan Kecamatan Gunung Sahilan Kabupaten Kampar dengan PT. RAPP sektor Tesso Timur. Bentrokan ini bermula dari tuntutan masyarakat satu bulan yang lalu, meminta agar PT. RAPP menyerahkan lahan seluas 2000 ha untuk 1000 KK, yang diperuntukkan warga sebagai perkebunan karet agar bisa menunjang perekonomian karena tidak ada lahan yang bisa dikelola. Walaupun PT. RAPP telah membangun untuk warga pola kemitraan (KKPA) seluas 2250 ha yang beranggotakan 1125 KK dengan sistem hutang, namun sudah sekian tahun berjalan hutang tersebut tidak kunjung lunas sehingga membuat penghasilan warga semakin menurun. Lahan yang digunakan untuk pola kemitraan di luar konsesi dan Pola Kemitraan ini dikelola oleh PT. RGMS, pembayarannya dilakukan oleh KUD dan masyarakat tidak mendapat informasi secara detail tentang pengelolaan pola kemitraan tersebut. Dengan demikian warga merasa ruang hidup dan ruang kelola terhadap lahan yang merupakan sumber ekonomi menjadi terbatas.
            Menurut masyarakat, lahan yang dituntut ini merupakan tanah ulayat yang masuk dalam konsesi PT. RAPP seluas ± 30.000 ha. Masyarakat melalui ninik mamak dan aparatur desa sudah pernah menanyakan luasan izin kepada pihak PT. RAPP, tapi PT. RAPP tidak bisa menunjukkannya, bahkan tidak ada tapal batas yang jelas antara konsesi dengan lahan garapan masyarakat. Sudah ada perundingan- perundingan yang dilakukan oleh masyarakat, aparat desa dan ninik mamak dengan pihak perusahaan agar pihak perusahaan sesegera mungkin memberi jawaban terhadap tuntutan mereka, namun hingga bentrokan ini terjadi belum ada kepastian jawaban dari pihak perusahaan.
Kronologis Bentrokan
            Pagi itu tanggal 6 Maret 2012 sekira pukul delapan, sekitar 700-an masyarakat mendatangi lahan yang akan mereka duduki karena tuntutan mereka tidak terwujud. Pada hari sebelumnya, di lahan ini pula masyarakat memergoki karyawan perusahaan mencabuti tanaman karet milik mereka dan menggantinya dengan tanaman akasia. Di tengah perjalanan, mereka sudah dihadang oleh 500-an karyawan PT. RAPP berseragam karyawan dan security perusahaan yang dipersenjatai dengan pentungan, pisau (sangkur), tombak babi, dan kayu. Bahkan satu unit mobil ranger bak terbuka sudah diisi dengan batu, dan 3 unit alat berat jenis skidder. Nampak aparat kepolisian dan Danramil sudah berjaga- jaga di area tersebut. Sepertinya bentrokan ini sudah dipersiapkan sedemikian rupa oleh pihak perusahaan. Pada saat saling berhadap-hadapan, sempat terjadi perang mulut antara masyarakat dengan perwakilan perusahaan, namun masih bisa diredam oleh pihak kepolisian, kepala desa, dan ninik mamak hingga suasana sempat terkendali. Selanjutnya ninik mamak, kepala desa, perwakilan perusahaan, dan pihak kepolisian mencoba untuk mencari solusi di tempat terpisah dan mereka sepakat untuk membubarkan diri.
            Di tengah suasana itu, serta merta alat berat skidder bergerak dan merobohkan camp yang dibangun masyarakat. Sontak emosi masyarakat meledak hingga terjadilah saling lempar batu dan kayu. Situasi makin mencekam ketika teriakan “serbu” dari pihak perusahaan menggema, mengomandoi skidder mengarah pada kerumunan massa, memaksa mereka berlarian tunggang langgang meninggalkan lokasi. Tanpa ampun, skidder dengan beringas menggilas apa yang ada di hadapannya, sehingga mengakibatkan 70-an sepeda motor rusak berat. Bentrok yang berlokasi di areal B-08 sekira pukul sebelas siang tersebut, tidak menelan korban jiwa, tetapi sedikitnya 15 orang masyarakat mengalami luka-luka oleh pukulan benda tumpul dan sangkur. Korban tersebut (warga Desa Gunung Sahilan) adalah Kisan, Rizon, Azwar, Een, Nur Aziza, Iyal Sorim, Warni, Erni, Sudarni, Ronal Usman, Ujang Rusli, Pijai, Hendra, Ipet, dan Rino Ronaldi.
            Kepala Desa Gunung Sahilan, Syofian yang didampingi Sekretaris Desa, Amyur dan Kepala Desa Sahilan, Darussalam Busman WH menjelaskan bahwa peristiwa ini dipicu dari sikap perusahaan yang melanggar kesepakatan. Dalam perundingan yang sebelumnya dilaksanakan pada Kamis (2/3) lalu, perusahaan dan warga sepakat, sebelum ada kejelasan dan putusan atas lahan seluas 2.000 ha yang disengketakan, maka lahan dimaksud di-statusquo-kan. Tapi kenyataannya, kesepakatan itu dilanggar.
            Syofian mengakui, kalau lahan 2.000 ha itu masuk dalam kawasan HTI dari PT. RAPP. Tapi, lahan tersebut milik masyarakat Kenegerian Gunung Sahilan, bahkan merupakan kawasan asal usul Kenegerian Gunung Sahilan sejak dahulunya. Lahan 2.000 ha yang dituntut warga akan dimanfaatkan untuk tanaman rakyat seperti pembangunan kebun untuk 1.000 KK. Menurut Busman, masalah ini tidak ada kaitannya dengan kebun kelapa sawit KKPA yang dibangun perusahaan seluas 2.250 ha itu, meski belum seluruhnya dibangun.
Warga Mendesak Persoalan Segera Dituntaskan
            Awalnya diketahui bahwa warga tidak ingin melakukan aksi apa pun, mereka hanya minta kepastian soal pelepasan lahan dan mengapa ada aktivitas di lahan yang di-statusquo-kan. Masyarakat siap melakukan perundingan yang difasilitasi Polsek Kampar Kiri, dan dalam waktu dekat akan dilakukan perundingan di tempat yang netral. Tuntutan warga adalah, meminta perusahaan mengeluarkan lahan seluas 2.000 ha dan mengganti atau memperbaiki sepeda motor milik warga yang rusak parah akibat insiden itu.
            Hendra, salah seorang korban insiden yang ditemui menceritakan, kejadian itu berlangsung cepat. Menurutnya, warga terpancing satpam perusahaan yang melakukan aksi merubuhkan pondok warga. Ia sendiri saat itu mendadak sudah dikepung sekitar 20 orang satpam dan karyawan. “Mereka menangkap dan memukul secara beramai-ramai,” ujarnya. Untungnya, di tengah situasi yang kalut, ada warga yang melihat dan membantunya, sehingga ia berhasil menyelamatkan diri. Meski demikian, kening Hendra sempat luka robek dan mendapatkan empat jahitan. Ia juga memperlihatkan luka memar yang ada di bagian punggungnya akibat dikeroyok. Masyarakat sepakat persoalan ini segera dituntaskan dan status lahan yang disengketakan segera mendapatkan kejelasan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar