BAB. I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Komisi Yudisial yang terbentuk merupakan
amanat dari konstitusi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 24 A dan 24 B ayat
(3) UUD 1945 dalam masa tugasnya telah banyak melakukan hal-hal yang positif
terutama dalam melakukan seleksi hakim
agung, namun dalam tugasnya menjaga kehormatan para hakim dari
perbuatan-perbuatan yang tercela serta tindakan-tindakan unprofessional conduct
dari para hakim belum maksimal. Masih banyak rekomendasi-rekomendasi yang
diberikan oleh Komisi Yudisial yang menyangkut rekomendasi penindakan terhadap
seorang hakim diabaikan oleh Mahkamah Agung.
Secara praktis usaha perwujudan kekuasaan kehakiman yang merdeka bertumpu
kepada proses peradilan. Tujuan utama proses peradilan adalah mencari dan
mewujudkan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu salah satu faktor
keberhasilan penegakan hukum adalah terletak pada fungsionaris badan kekuasaan
kehakiman yang bebas dari intervensi pihak-pihak lain.
Cita-cita mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak mungkin
tercapai hanya dengan membiarkan peradilan berjalan sendiri tanpa dukungan
lembaga lain. Lembaga yang secara formal diberi tugas dan peran mewujudkan
kekuasaan kehakiman yang bebas melalui pencalonan hakim agung dan pengawasan
terhadap perilaku hakim adalah Komisi Yudisial (lihat konsideran huruf b
Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial).
Dalam proses penegakan hukum unsur terpenting dan mempunyai peranan sentral
adalah legal aparatus. Oleh karena itu, sebagai lembaga yang bertugas
mengusulkan hakim agung dan mengawasi perilaku hakim supaya sesuai dengan
keluhuran profesinya, program kerja Komisi Yudisial harus diarahkan kepada,
pertama, penguatan lembaga Komisi Yudisial itu sendiri yaitu dengan menata
organisasi kelembagaan Komisi Yudisial, dan kedua pemantapan dari tugas-tugas
dan wewenang yang dibebankan oleh Undang-undang Nomor 22 tahun 2004.
Sebagai sebuah lembaga negara yang mandiri, komisi yudisial harus pula
dilengkapi dengan sebuah Dewan Kehormatan yang bertugas memeriksa dan mengadili
para anggotanya yang disangka telah melanggar code of conduct yang telah
ditetapkan tadi. Dewan kehormatan haruslah terdiri dari orang-orang yang
independen dan sedapat mungkin anggota Dewan kehormatan bukan berasal dari
komisi yudisial tetapi dari kalangan luar.
Banyak putusan-putusan pengadilan yang apabila diuji petimbangan hukumnya tidak sesuai dengan akal sehat dan common sence serta menunjukkan kelemahan pengetahuan
hakim terhadap teori-teori hukum. Kemudian prilaku hakim yang kadang-kadang
menggunakan kebebasan yang dimilikinya untuk mengadopsi keterangan saksi ahli
yang sebenarnya keterangan saksi ashli pun tidak mencerminkan keahlian yang
dimilikinya tetapi karena terjadi konspirasi keterangan ahli tersebut diterima
oleh majelis hakim. Praktek-praktek seperti ini sebenarnya merupakan tugas
komisi yudisial untuk menghentikan dan mencegahnya. Oleh karena itu, sebuah
panel harus dibentuk di komisi yudisial untuk memantau putusan-putusan
pengadilan yang tidak mencerminkan keluhuran lembaga ini.
Komisi Yudisial harus menyadari bahwa tugas dan wewenang yang diembannya
adalah bersinggungan dengan harapan masyarakat terhadap peradilan. Harapan
masyarakat terhadap pengadilan adalah, pertama mendapat pelayanan yang adil dan
manusiawi, kedua mendapat pelayanan yang baik dan bantuan yang diperlukan,
serta ketiga mendapat penyelesaian perkaranya secara efektif, efisien, tuntas
dan definitif. Untuk memenuhi harapan masyarakat tersebut tentu diperlukan
hakim-hakim yang mempunyai integritas tinggi dan mengedepankan supremasi of
moral atas dasar doktrin interest of justice.
Putusan Komisi Yudisial dalam memeriksa para hakim nakal dan tidak
profesional sehingga menimbulkan ketidak adilan akan menjadi entry point bagi
komisi yudisial untuk menunjukkan bahwa pembentukannya tidak sia-sia, tetapi
apabila tidak memenuhi harapan masyarakat, komisi yudisial akan di cap sebagai
lembaga yang terlibat langsung dalam berkembangnya mafia peradilan.
1.2 Rumusan Masalah
Dari
permasalahan di atas dapat menarik beberapa permasalahan yang hendak dibahas,
antara lain:
1. Bagaimanakah
kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan Indonesia?
2. Apa yang
menjadi alasan dibentuknya Komisi Yudisial di Republik Indonesia?
3. Bagaimana
peran Komisi Yudisial dalam reformasi peradilan pasca putusan Mahkamah Konstitusi
yang membatalkan beberapa pasal yang terkait dengan pengawasan hakim?
4. Bagaimana
keterkaitan antara peran Komisi Yudisial dalam reformasi peradilan dan
mekanisme recruitment hakim agung?
1.3 Tujuan Penulisan
Paper ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum
Tata Negara serta agar ingin lebih mengkaji dan memahami tentang Hukum
Tata Negara secara mendalam khususnya Lembaga Negara.
BAB. II
PEMBAHASAN
1. Kedudukan
Komisi Yudisial dalam ketatanegaraan Indonesia.
Dasar
hukum dibentuknya komisi yudisial adalah pasal 24 b Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dengan rumusan sebagai berikut:
1) Komisi
yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan
kehormatan,keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
2) Anggota
komisi yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum
serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
3) Anggota
komisi yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan
DPR.
4) Susunan,kedudukan,dan
keanggotaan komisi yudisial diatur dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan
pasal 24B ayat (4) UUD 1945,maka dikeluarkanlah UU NO.22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial.Menurut ketentuan pasal 1 ditegaskan bahwa komisi yudisial
adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Lebih lanjut,dalam pasal 2
ditegaskan,bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri
dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh
kekuasaan lainnya. Dari penegasan diatas dapat diketahui bahwa kedudukan komisi
yudisial dalam sturuktur ketatanegaraan indonesia adalah termasuk ke dalam
lembaga negara setingkat presiden dan bukan lembaga pemerintahan yang bersifat
khusus atau lembaga khusus yang bersifat independen yang dalam istilah lain
disebut lembaga negara mandiri(state auxiliary institution) . Sebenarnya ide
perlu adanya suatu komisi khusus untuk menjalankan fungsi-fungsi tetrtentu yang
berhubungan dengan kekuasaan kehakiman bukanlah hal yang baru. Dalam pembahasan
RUU tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sekitar tahun 1968,
setempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan
Penelitiaan Hakim. Majelis ini berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil
keputusan terakhir mengenai saran-saran atau usul-usul yang berkenaan dengan
perangkat, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan atau hukumanjabatan
para hakim, yang diajukan oleh Mahkamah Agung maupun Mentri Kehakiman.
2. Alasan Dibentuknya Komisi Yudisial di Republik Indonesia
Alasan
utama bagi terwujudnya (raison
d’atre) Komisi Yudisial di dalam suatu negara hukum, adalah :
1) Komisi Yudisial
dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan
kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyaraka dalam spectrum yang
seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal,
2) Komisi
Yudisial menjadi perantara (mediator)
atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan
utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh
kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah,
3) Dengan
adanya Komisi Yuidisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman
(judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal, baik yang menyangkut
rekruitmen dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan
kehakiman,
4) Terjaganya
konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan memperoleh
penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi
Yudisial), dan
5) Dengan
adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power) dapat terus
terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi
dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga
diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik.
Di
Indonesia term ini diadopsi dengan membentuk Komisi Yudisial. Hanya
saja, selain dua alasan umum bagi negara hukum di atas, juga terdapat
alasan-alasan khusus dalam pembentukan Komisi Yudisial di Indonesia.
Alasan utama yang mendorong timbulnya pemikiran mengenai pentingnya
keberadaan KY adalah kegagalan sistem yang ada untuk menciptakan pengadilan
yang lebih baik. Kehadiran KY merupakan ikhtiar dari bangsa ini untuk
mengawal proses reformasi peradilan agar berjalan sesuai tuntutan reformasi
yaitu bebas dari KKN. Namun, kenyataannya, institusi pengadilan belum tersentuh
agenda reformasi. Hal ini terlihat dari hasil survey integritas sektor
publik yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2008 pengadilan
merupakan institusi yang paling rawan suap. Praktek suap mengakibatkan
institusi penegakkan hukum ini terjerembab dalam kubangan mafia
peradilan.
Alasan
kedua, pasca penyatuan satu atap kekuasaan kehakiman di bawah MA, ada
kekhawatiran akan melahirkan monopoli kekuasaan kehakiman. Potensi abuse of
power sangat besar apabila tidak ada lembaga yang melakukan pengawasan
terhadap jalannya kekuasaan kehakiman tersebut. Kecenderungan tidak
transparannya pengawasan internal sangat kentara, seperti tidak diumumkannya
nama-nama hakim yang mendapat sanksi dari MA ke publik. Selain itu, masih
kentalnya esprit de corps sesama hakim membuat tidak objektif dan
transparan hasil pengawasan internal yang dilakukan oleh MA.
3. Peran Komisi Yudisial Dalam Reformasi Peradilan Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU..IV/2006
Sesuai
keputusan rapat pleno Komisi Yudisial tanggal 25 Agustus 2006 maka sehubungan
dengan keluarnya Putusan MK yang membatalkan sejumlah pasal dalam UU Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, khususnya yang terkait dengan pelaksanaan
tugas-tugas pengawasan hakim,, Komisi Yudisial tetap
menerima laporan pengaduan masyarakat sehubungan dengan perilaku hakim
Keputusan ini diambil dengan pertimbangan bahwa dalam amar putusan MK yang
pertama, yang pada kesimpulannya laporan masyarakat yang diterima Komisi
Yudisial dapat ditindaklanjuti sepanjang laporan tersebut bukan mengenai Hakim
MK dan hakim agung MA.
Dengan
demikian berdasar amar tersebut keseluruhan kata-kata Hakim dalam UU No. 22
Tahun 2004 baik dalam bentuk pengawasan dan usul penjatuhan sanksi oleh Komisi
Yudisial dan semua aturan pelaksanaannya harus merujuk pada amar putusan MK
tersebut yang termaktub dalam ketentuan umum pasal 1 angka 5 UU No. 22 tahun
2004.
Putusan
MK mengenai uji konstutitusional terhadap UU No. 22 Tahun 2002 tentang Komisi
Yudisial ini memang sarat kontroversi. Akibatnya, timbul anggapan adanya conflict
of interest dalam perkara ini. Memang dalam pengujian UU KY ini, hakim
konstitusi telah mengacuhkan asas hukum nemo judex in propria causa (tidak
ada hakim yang mengadili perkaranya sendiri. Inilah sebuah ironi yang telah
menjebak hakim-hakim konstitusi dan Mahkamah Konstitusi terjebak di bawah
logika tiran bahwa perilaku mereka hanya dapat diawasi oleh mereka sendiri, pun
tidak dapat diawasi oleh Komisi Yudisial. Imbasnya, tidak adanya pengawasan
dari lembaga eksternal berpotensi melanggar semangat dasar konstutusionalisme
untuk membatasi kekuasaan dalam penyelenggaraan negara melalui mekanisme checks
and balances.
Berdasarkan
hal-hal tersebut terkait dengan sejumlah laporan yang telah diterima sebelum
dan sesudah keluarnya Putusan MK, Komisi Yudisial akan tetap melakukan proses
penelitian dan pembahasan, dan hasilnya akan ditindaklanjuti dengan pemanggilan
dan pemeriksaan hakim, setidak-tidaknya klarifikasi dari pihak Hakim tersebut
apabila berhalangan hadir. Dan dilanjutkan dengan tindakan Komisi Yudisial
mengirim rekomendasi kepada Mahkamah Agung dan tembusannya kepada Presiden dan
DPR.
Komisi
Yudisial telah membentuk Tim Internal yang bertugas merumuskan draft perubahan
Undang-Undang Komisi Yudisial dan daftar inventarisasi masalah dari berbagai
peraturan perundang-undangan terkait, yang hasilnya akan diserahkan kepada
DPR-RI sebagai bahan masukan bagi DPR-RI, khususnya Komisi III dalam menetapkan
perubahan undang-undang dimaksud.
Sebagai lembaga negara yang ditugasi untuk mengawal reformasi peradilan,, Komisi Yudisial tentu merasa kecewa dan prihatin terhadap keluarnya
putusan MK Nomor 005//PUU-IV//2006.
Dengan
keluarnya Putusan MK tersebut,, upaya yang tengah
gencar dilakukan Komisi Yudisial dalam memberantas mafia peradilan dan judicial
corruption menjadi tidak sempurna karena terbatas pada Hakim sesuai
ketentuan pasal 1 angka 5 UU Komisi Yudisial tersebut yang telah diputuskan
oleh MK tersebut.
Namun
sebagai lembaga pelaksanan undang-undang, Komisi Yudisial tentu tidak punya
pilihan lain, kecuali harus tunduk dan patuh melaksanakan ketentuan
perundang-undangan.
4. Peran Komisi Yudisial dalam Reformasi Peradilan melalui Recruitment
Hakim Agung
Secara
eksplisit, di dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 22 Tahun 2004, Komisi Yudisial
mempunyai 2 wewenang, yaitu:
a.
Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan
b.
Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Dalam
menjalankan kewenangannya pada huruf (a) itu, Komisi Yudisial mempunyai tugas,
sebagaimana juga dicantumkan dalam Pasal 14 huruf a Undang-Undang No. 22 Tahun
2004, yaitu:
a. Melakukan
pendaftaran calon Hakim Agung;
b. Melakukan
seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c.
Menetapkan calon Hakim Agung; dan
d.
Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
Berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2004, Komisi
Yudisial mempunyai kewenangan yang cukup besar untuk mengawal peradilan di
Indonesia, mulai dari penyelenggaraan seleksi terhadap calon hakim agung. Hanya
saja kewenangan ini masih harus tertunda lagi, karena telah disahkannya
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Di
dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, tepatnya Pasal 11, disebutkan bahwa
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda Mahkamah Agung, dan hakim agung diberhentikan
dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung karena:
a. Meninggal
dunia;
b. Telah
berusia 70 (tujuhpuluh) tahun;
c. Atas
permintaan sendiri secara tertulis;
d. Sakit
jasmani atau rohani secara terus menerus selama 3 (tiga) bulan berturut-turut
yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; atau
e. Ternyata
tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
Padahal,
pada Undang-Undang tentang Mahkamah Agung sebelumnya, hakim-hakim agung
diberhentikan sevara hormat dari jabatannya setelah berusia 67 tahun. Secara
matematis, setidaknya Komisi Yudisial masih membutuhkan waktu 3 tahun lagi
untuk melakukan seleksi terhadap calon hakim agung, karena adanya tambahan 3
tahun bagi batas usia hakim agung untuk duduk sebagai hakim agung.
Dan
memang pada tahun 2012, ada sekurang-kurangnya 13 hakim yang akan berusia 70
tahun yang tentunya akan diberhentikan secara hormat dan selanjutntya akan
dilakukan proses seleksi hakim agung oleh Komisi Yudisial. Dengan demikian,
Komisi Yudisial harus menunggu, setidaknya sampai tahu 2012 untuk melakukan
proses seleksi terhadap calon hakim agung.
BAB. III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Terdapat
dua alasan penting yang mendasari dibentuknya Komisi Yudisial di Indonesia,
yaitu:
1) Kegagalan sistem yang ada saat ini, sehingga dibutuhkan terobosan baru untuk menciptakan pengadilan yang lebih baik.
2) Adanya
kekhawatiran akan melahirkan monopoli kekuasaan kehakiman, pasca penyatuan satu
atap kekuasaan kehakiman di bawah MA. Potensi abuse of power sangat
besar apabila tidak ada lembaga yang melakukan pengawasan terhadap jalannya
kekuasaan kehakiman tersebut.
Karena
alasan-alasan yang terjadi di Indonesia itulah, dan untuk mereformasi peradilan
yang ada, maka Komisi Yudisial dibentuk.
Berdasar
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005//PUU-IV//2006, keseluruhan kata-kata Hakim dalam
UU No. 22 Tahun 2004 baik dalam bentuk pengawasan dan usul penjatuhan sanksi
oleh Komisi Yudisial dan semua aturan pelaksanaannya harus merujuk pada amar
putusan MK tersebut yang termaktub dalam ketentuan umum pasal 1 angka 5 UU No.
22 tahun 2004.
Namun
sebagai lembaga pelaksanan undang-undang, Komisi Yudisial tentu tidak punya
pilihan lain, kecuali harus tunduk dan patuh melaksanakan ketentuan
perundang-undangan. Dan selain itu, Komisi Yudisial tetap berupaya maksimal
untuk melapangkan jalan menuju reformasi peradilan.
Setidaknya,
Komisi Yudisial baru akan melakukan seleksi terhadap calon hakim agung pada
tahun 2012. Hal ini merupakan akibat dari disahkannya Undang-Undang No. 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, yang mengubah batas usia bagi hakim agung menjadi 70 tahun. Dan
selain itu, karena pada 2012 nanti, terhitung ada 13 hakim agung yang memasuki
usia 70 tahun.
2. Saran-Saran
1) Tim internal
Komisi Yudisial yang dibentuk untuk merumuskan draft usulan Rancangan Undang-Undang
Komisi Yudisial sedapatnya memasukkan hal-hal yang dirasa penting ke dalam
draft ini, agar kepentingan penegakan reformasi peradilan bisa terlindungi
secara hukum.
2) Perlu
diadakan suatu kajian yang mendalam mengenai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005//PUU-IV//2006 yang membatalkan sebagian kewenangan Komisi
Yudisial dalam hal pengawasan hakim, karena dalam hal ini terjadi penyimpangan
asas hukum “nemo judex indoneus in propria causa”.
menarik sekali postingan ini,sangat membantu.nice posting
BalasHapus.kunjungi juga :) Diskusi Kiat Sukses Kuliah