A. PARTAI POLITIK
Kekuasaan
adalah suatu kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah
laku seseorang atau kelompok orang lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku
seseorang atau kelompok orang tersebut menjadi sesuai dengan keinginan dan
tujuan dari orang yang memiliki kemampuan itu.
Menurut
K.F Flechthiem : “kekuasaan adalah keseluruhan dari kemampuan hubungan-hubungan
dan proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain untuk tujuan yang
ditetapkan oleh pemegang kekuasaan”.
Menurut
RM.Mac Iver ; “kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah
laku orang lain baik secara langsung dengan cara memberi perintah maupun tidak
langsung dengan mempergunakam alat dan cara yang tersedia”. Kekuasaan politik
adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum (pemerintah) baik dalam
proses terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan
pemegang kekuasaan itu sendiri.
Ciri-ciri kekuasaan Negara :
§ Adanya
unsur kekuatan memaksa
§ Negara
memiliki monopoli kekuasaan
§ Sifat
kekuasaan negara mencakup semua orang tanpa kecuali
§ Suprastruktur
: adalah struktur di atas permukaan yang keberadaannya ditentukan dalam
konstitusi negara
§ Infrastruktur
: adalah struktur dibawah permukaan yang keberadaanya ada dalam masyarakat.
1. Definisi
Partai Politik
Menurut Carl J.Friederich : Partai Politik adalah sekelompok
manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan,
berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang
bersifat idiil maupun materiil.
Menurut R.H. soltau : Partai politik adalah sekelompok
warganegara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu
kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih
bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum
mereka.
Menurut Sigmund Newmann : Partai politik adalah organisasi
dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuatan
pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu
golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.
2. Fungsi
Partai Politik
Terdapat 4 fungsi utama
partai politik dalam negara :
1) Partai
sebagai sarana komunikasi politik; partai politik bertugas sebagai alat
komunikasi dua arah yakni menyalurkan aspirasi anggotanya kepada pemerintah dan
sebaliknya menginformasikan segala kebijaksanaan yang telah diambil pemerintah
kepada para anggotanya.
2) Partai
politik berfungsi sebagai sarana sosialisasi politik. Sosialisasi politik
merupakan suatu proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi
mengenai suatu fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana
ia berada.
3) Partai
politik sebagai sarana recruitment politik, yaitu mencari dan mengajak orang
yangberbakat untuk aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai.
4) Partai
politik sebagai sarana managemen konflik. Dalam suatu negara demokrasi
perbedaan pendapat adalah wajar terjadi.
3. Klasifikasi
Sistem Kepartaian
Ada 3 macam kriteria untuk
mengadakan klasifikasi partai politik:
1) Klasifikasi
menurut jumlah dan fungsi anggotanya:
· Partai
Massa: yaitu partai yang selalu mendasarkan kekuatannya pada jumlah anggotanya.
· Partai
Kader : yaitu yang mementingkan kualitas, loyalitas dan disiplin anggotanya.
2) Klasifikasi
berdasarkan sifat dan orientasi partai:
· Partai
Lindungan (Patronage Party) umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor
· Partai
asas/Idiologi: biasanya mempunyai pandangan hidup (idiologi) yang digariskan
dalam kebijakan pimpinan.
· Partai
program: yaitu partai yang berorientasi pada program-program yang knkrit.
3) Klasifikasi
atas dasar jumlah partai yang berpengaruh dalam Badan Perwakilan
Menurut maurice
Duverger, terdiri atas 3 sistem yaitu:
· Sistem
satu partai atau Partai tunggal/Mono Partai yaitu hanya ada satu partai yang
berkuasa secara dominant.
· Sistem
dua Partai/Dwi Partai. Dalam sistem ini diartikan sebagai adanya dua partai
atau lebih, tetapi dengan peranan dominant dari dua partai.
· Sistem
Multi Partai. Dimana dalam sistem multi partai ada lebih dari dua partai
politik yang berpengaruh di badan perwakilan rakyat.
4. Sejarah
Pengaturan Kepartaian di Indonesia
Sejarah pengaturan
partai politik di Indonesia dapat dikelompokan atas:
1) Masa
Penjajahan
Tahun 1939 partai
politik dibentuk dan melakukan perjuangan lewat Dewan perwakilan Rakyat
(Volksraad) :
· Indonesiche
Nationale Groep dipimpin Moh. Yamin
· Fraksi
National di bawah Husni Thamrin
· Perhimpunan
Pegawai Bestuur Bumi Putera dibawah Pimpinan Parwoto.
Diluar Volksraad: ada
usaha-usaha untuk menggabungkan partai politik dengan membentuk: GAPI (Gabungan
Partai Politik), MIAI (Majelisul Islamil Alaa Indonesia), MRI (Majelis Rakyat
Indonesia).
2) Masa
Kemerdekaan
a. Masa
Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945
Isi Maklumat adalah
sebagai berikut:
1. Pemerintah
menyukai pembentukan partai-partai politik
2. Pemerintah
berharap partai-partai itu terbentuk sebelum pemilihan Badan Perwakilan Rakyat.
Dari himpunan ini
muncul 10 partai politik. Berdasarkan UU No 7 Th 1953 (LN. No.29 Th 1953),
ditetapkan 7 April 1953 diadakan Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPR bulan
September 1955, memilih anggota Konstituante 1 maret 1956. Jumlah partai
politik yang mengikuti Pemilu adalah 24 parpol, untuk merebut 272 kursi.
Perolehan suara terbesar adalah: Masyuni, PNI, Nahdatul Ulama, PKI, Sisa kursi
75 kursi diperebutkan partai-partai kecil lainnya.
b. Masa
Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Terjadi perubahan
ketatanegaraan dari UUDS 1950 dengan memberlakukan UUD 1945, yang dikenal
dengan sistem Demokrasi Terpimpin. Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan
Presiden (Penpres) No 7 Th 1959 Tentang Syarat-Syarat Penyederhanaan
Kepartaian. Pengaturan Presiden (Perpres) no 13 Th 1960 tentang Pengakuan,
Pengawasan, dan Pembubaran Partai. Partai-partai yang dibubarkan: Masyuni, PSI
(Partai Sosialis Indonesia). Partai yang ditolak: PSII Abikusno Tjokrosuyoso,
Partai Rakyat Nasional Bebasa Dalung Lalo, Partai Rakyat Indonesia, Partai
Rakyat nasionalis Djodi Gondokoesoemo.
3) Masa
Orde Baru
Semboyan Orde Baru adalah “Melaksanakan UUD 1945 secara Murni dan
Konsekuen”. Pada masa orde baru ini dikeluarkan UU No 15 Th 1969 Tentang
Pemilihan Umum, dan UU No 16 Th 1969 Tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR,
dan DPRD. Pemilihan Umum diadakan tanggal 3 Juli 1971 yang diikuti oleh sepuluh
partai politik. MPR hasil Pemilu kemudian melakukan fusi/penggabungan dalam
fraksi-fraksi: Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi Demokrasi indonesia, Fraksi
karya Pembangunan, Dua fraksi fungsional: yaitu Fraksi ABRI dan Fraksi Utusan
Daerah.
Fusi ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya UU No 3 Th 1975
Tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang menyederhanakan jumlah partai
(organisasi sosial politik) menjadi 3 yaitu: Partai Demokrasi Indonesia
berasaskan Nasionalisme, Partai Persatuan Pembangunan berasaskan Islam dan
Golkar berasaskan kerakyatan untuk kesejahteraan bangsa dan keadilan sosial. Tetapi
asas ciri ini dihapus dengan UU No 3 Th 1985 tentang Parpol dan Golkar, serta
dengan UU No 5 Th 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Partai diarahkan
menjadi partai program. Sejak Tahun 1971 telah berhasil diadakan pemilu
legislatif setiap lima tahun sekali secara periodik yaitu tahun 1971, 1977,
1982, 1987, 1992, 1997 dimana hasil pemilu selalu didominasi oleh Golkar.
4) Masa
Reformasi
Dikeluarkan UU No 2 th 1999 Tentang Partai Politik, UU No 3 Th
1999 Tentang Pemilihan Umum dan UU No 4 Th 1999 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, dan DPRD. UU No 3 th 1999 membuka kembali kebebasan membentuk Partai
politik dan boleh mencantumkan asas ciri masing-masing partai. Akhirnya muncul
sistem banyak partai. Berdasarkan UU No 31 Th 1004, berkurang secara signifikan
sebanyak 24 partai dari 80 parpol yang mendaftar, karena ditentukan
syarat-syarat parpol yang dapat menjadi peserta pemilu. Kondisi sistem
multipartai muncul karena masyarakat Indonesia sangat heterogen.
B. PARTAI
POLITIK DAN PEMILIHAN UMUM
1. Masalah
Perwakilan
Pengertian Pemerintah
dengan sistem perwakilan, menurut Konfrensi International Comission of Jurist
di Bangkok adalah : “Pemerintah Perwakilan adalah pemerintahan yang memperoleh keuasaan
dan kewenangan dari rakyat, dimana kewenangan dan kekeuasaan itu diperoleh
melalui perwakilan yang dipilih secara bebas dan bertanggung jawab kepada
pemilihnya.
Syarat-syaratnya harus
ada :
a. Proteksi
Konstitusional
b. Pengadilan-
pengadilan yang bebas dean tidak memihak
c. Pemilihan-
pemilihan yang bebas
d. Kebebasan
menyatakan pendapat
e. Kebebasan
berserikat dan tugas oposisi
f. Harus
ada pendidikan civics
Mengenai hubungan wakil
dengan yang diwakili ada bebrapa teori antar lain :
a. Teori
Mandat
Menurut teori ini
mandat si wakil dianggap duduk dilembaga perwakilan karena mendapat mandat dari
rakyat, sehingga disebut mandataris. Teori mandat berkembang menjadi 3, yaitu :
· Mandat
imperatif
Si wakil bertugas dan
bertindak dilembaga perwakilan sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh yang
diwakili.
· Mandat
bebas
Ajaran ini berpendapat
bahwa si wakil dapat bertindak bebas tanpa tergantung dari instruksi yang di
wakilinya.
· Mandat
representatif
Disini si wakil di
anggap bergabung dengan badan perwakilan (parlemen).
b. Teori
Organ
Teori organ ini dianut
oleh Von Gierke dan juga Jellinek dan Paul Laband. Manurut teori ini negara
merupakan organisme yang mempunyai alat-alat perlengkapan dengan fungsinya
masing-masing dan saling tergantung satu dengan lainnya. Setelah rakyat memilih
lembaga perwakilan rakyat, maka rakyat tidak perlu mencampuri lembaga
tersebut.
c. Teori
Sosiologis dari Rieker
Rieker menggap bahwa
lembaga perwakilan bukan merupakan bangunan politis, tetapi merupakan bangunan
sosial (masyarakat). Si Pemilih akan memilih wakilnya yang benar-benar ahli
dalam bidang kenegaraan.
d. Teori
Hukum Objektif dari Leon Duguit
Wakil rakyat dapat
melaksanakan tugas kenegaraannya atas nama rakyat, sedangkan rakyat tidak akan
dapat melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya tanpa mendukung wakilnya dalam
menentukan kewenangan pemerintahan. Jadi ada pembagian kerja. Keinginan untuk
berkelompok yang disebut solidaritas merupakan dasar hukum objektif yang
timbul.
e. Teori
Gilbert Abcarian
Menurut Gilbert
Abcarian ada 4 tipe hubungan antara wakil dengan diwakili yaitu:
· Si
wakil sebagai wali (trustce). Disini wakil bebas bertindak atau mengambil
keputusan.
· Si
wakil bertindak sebagai utusan/delegasi. Disini wakil bertindak sebagai utusan
atau duta yang diwakili.
· Si
wakil bertindak sebagai politico. Disini wakil selaku wali dan terkadang
sebagai utusan tergantung dari materi yang dibahas.
· Wakil
bertindak sebagai partisan. Disini wakil bertindak sesuai dengan program
partainya atau keinginan partai yang diwakilinya.
f. Teori
Prof. Dr. A Hoogerwerf
Menurutnya
hubungan antara si wakil dengan yang diwakilinya ada 5 model yaitu :
a.Model
delegate. Wakil bertindak sebagai yang diperintah seorang kuasa usaha yang harus
menjalankan perintah dari yang diwakilinya.
b.Model trustee.
Wakil bertindak sebagai orang yang diberi kuasa, yang memperoleh kuasa penuh
dari yang diwakilinya, jadi ia dapat bertindak berdasarkan pendirian sendiri.
c.Model Politicos. Wakil
kadang-kadang bertindak sebagai delegasi dan juga bertindak sebagai kuasa
penuh.
d.Model
kesatuan. Disini anggota parlemen dilihat sebagai wakil seluruh rakyat.
e.Model
divesifikasi (penggolongan). Anggota parlemen dilihat sebagai wakil darikelompok
teritorial, sosial atau politik tertentu.
2. Sistem
Pemilihan Umum
Pemilihan
umum merupakan satu cara untuk menentukan wakil-wakil rakyat yang duduk
dilembaga perwakilan rakyat. Dampak secara umum dari sistem pemilihan
proporsional:
· Setiap
suara di wilayah pemilihan tetap dihitung secara nasional, sehingga tidak ada
suara yang hilang.
· Sistem
ini disukai oleh partai-partai kecil, karena masih ada harapan kemungkinan
dapat merebut kursi di lembaga perwakilan rakyat. Sehingga sistem pemilihan
proporsional cendrung mendorong tumbuhnya sistim multipartai.
· Perhitungan
suaranya berbelit-belit.
· Rakyat
bukan memilih orang, melainkan partai politik.
3. Sistem
Pemilu di Indonesia
Pemilu dalam perjalanan sejarahnya
sebagai berikut :
a. Masa
orde lama
Pemilu pertama tahun 1955, berdasarkan UU No. 7 th. 1953 yang
sumber konstitusinya adalah pasal 1 ayat (2) dan pasal 35 UUDS 1950. Sistem
pemilihannya adalah sistem proporsional. Asas pemilu adalah : umum dan
berkesamaan langsung, bebas dan rahasia. Pemilu dilaksanakan bulan september
1955 untuk memilih DPR dan bulan desember untuk memilih badan konstituante.
b. Masa
orde baru
Pemilu yang kedua tahun 1971. Berdasarkan Tap MPRS No.
XLII/MPRS/1968, maka pemilu dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 5 juli
1971. Presiden dan DPR-Gotong Royong pada saat itu menetapkan UU No. 15 tahun
1969 tentang pemilihan umum dan UU No. 16 tahun 1969 tentang susunan DPR, DPRD
dan MPR yang menentukan susunan anggota DPR dari 460 orang maka 100 orang diisi
dengan pengangkatan, khususnya bagi golongan ABRI. Asas pemilu adalah :
Langsung, umum, bebas dan rahasia. Pemilu ke 3 tahun 1977. Dalam insfrastruktur
politik terjadi penggabungan fraksi di MPR dan juga fusi partai politik.
Peserta pemilu hanya 3 organisasi sosial politik berdasarkan UU No. 3 tahun
1975 tentang partai Poltik dan golongan karya. Pemilu diselenggarakan
berdasarkan UU NO. 4 tahun 1975. Pemilu keempat tahun 1982,setelah sempat
diadakan perubahan terhadap UU parpol dan golkar 1975 dan UU No. 4 tahun 1975
dengan mengeluarkan 5 paket UU dibidang poltik tahun 1985 terutama asas partai
politik hanya mengenal asas Pancasila dan asas ciri dihapuskan. Hal ini berlaku
untuk Pemilu ke V th 1987 sampai pemilu ke VI th 1992, pemilu ke VII th 1997
adalah akhir dari masa orde baru. Asas pemilu adalah langsung, umum, bebas dan
rahasia, dengan sistem perwakilan proporsional dan sistem pengangkatan
(perwakilan fungsional).
c. Masa
reformasi
Pemilu ke VIII th 1999. Disusun 3 paket undang-undang di bidang
politik yakni: UU No 2 th 1999 tentang Partai politik, UU No 3 th 1999 tentang
Pemilihan Umum, dan UU No 4 Th 1999 tentang Susduk MPR, DPR, dan DPRD.
Muncullah banyak partai politik dengan asas cirinya masing-masing.
Peserta Pemilu adalah 28 partai politik. Sistem pemilihannya adalah sistem
perwakilan proporsional dan pengangkatan. Pemilu ke IX th 2004, setelah amandemen
ke III UUD 1945 dan mencantumkan tentang Pemilihan Umum Bab VII B Pasal 22 E :
1) Pemilu
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima
tahun sekali.
2) Pemilu
diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan
DPRD.
3) Peserta
Pemilu untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik.
4) Peserta
Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.
5) Pemilu
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri.
6) Ketentuan
lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
Dalam rangka
pelaksanaan ketentuan UUD 1945 diatas, maka dibentuk empat undang-undang di
bidang politik, yaitu : UU No 31 Th 2002 tentang partai politik, UU No 12 Th
2003 tentang Pemilihan Umum, UU No 22 Th 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD dan DPRD, dan UU No 23 Th 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden. Sistem pemilihan anggota DPR dan DPRD menganut sistem
pemilihan Proporsional dengan daftra terbuka, sementara untuk DPD menganut
sistem Distrik berwakil banyak. Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil
presiden menganut sistem emilihan perorangan.
Analisis
Pertanyaan
pertama dari UU Pemilu yang sudah disahkan di DPR adalah, apa dampaknya
terhadap masyarakat luas sebagai pemilik demokrasi?, pertanyaan tersebut
tentunya beralasan karena pada intinya ujung dari pada UU tersebut nantinya
adalah kembali ke masyarakat. Pada tahun 2009 saja, masyarakat sudah banyak
yang mengambil jalan untuk tidak ikut dalam pesta demokrasi apalagi tahun 2014
nanti yang mana sistemnya sama tidak ada bedanya.
Mantan Presiden Alm. Gus Dur pernah membuat keputusan yang kontroversi dengan mengambil jalan golput dalam pemilu 2009. Gus Dur menambahkan, keputusan golput merupakan salah satu mekanisme dalam sistem demokrasi karena ia menilai demokratisasi sistem politik di Indonesia tidak berjalan. Hanya mementingkan kelompok politik semata, tidak memberi ruang bagi masyarakat.
Dengan berjalannya waktu dan seiring dengan kinerja KPU yang baru terpilih beberapa waktu yang lalu, maka masyarakat akan semakin memahami seperti apa sebenarnya sistem pemilu di negeri ini. Masyarakat sebenarnya sudah pintar dan sudah memiliki kesadaran untuk memilih yang terbaik apakah itu mengambil sikap untuk tidak terlibat dan membangun sebuah gerakan baru sebagai gerakan perlawanan terhadap sistem.
Oleh karenanya, seharusnya ada sebuah keputusan yang menguntungkan masyarakat dari hasil rapat paripurna DPR. Bukan malah hanya memikirkan masa depan partai yang ujung-ujungnya terjadi konflik kepentingan. Konflik kepentingan yang dimaksud tentunya lebih mengedepankan persoalan untung ruginya dan masa depan dari partai politiknya. Kalau dirasa merugikan partai politik juga lebih memilih untuk mengorbankan kepentingan masyarakat, hal ini bukan lagi menjadi rahasia umum tetapi sudah menjadi ajang pertarungan di parlemen sana.
Sama-sama januar :)
BalasHapus