Tujuan utama proses kepailitan
terhadap perseroan terbatas adalah untuk mempercepat proses likuidasi dalam
rangka pendistribusian aset perseroan dalam rangka membayar utang-utang
perseroan karena perseroan telah mengalami kesulitan keuangan yang menyebabkan
insolvensi perseroan tersebut. Dengan demikian, eksistensi PT yang dipailitkan
segera berakhir dengan percepatan pemberesan proses likuidasi tersebut. Prinsip
utama kepailitan PT adalah menyegerakan proses likuidasi asset perseroan untuk
kemudian membagikannya kepada segenap kreditornya.[1]
Eksistensi yuridis dari PT yang
telah dipailitkan adalah masih tetap ada eksistensi badan hukumnya. Dengan
dinyatakannya pailit tidak muitatis mutandis badan hukum perseroan menjadi
tidak ada. Suatu argumentasi yuridis mengenai proposisi ini setidaknya ada tiga
landasan :
1) Pertama,
kepailitan terhadap PT tidak mesti berakhir dengan likuidasi dan pembubaran
badan hukum perseroan. Dalam hal harta kekayaan perseroan telah mencukupi
seluruh tagihan-tagihan kreditor dan biaya-biaya yang timbul dari kepailitan,
maka langkah berikutnya adalah pengakhiran kepailitan dengan jalan rehabilitasi
dan kepailitan diangkat serta berakibat PT itu kembali pada keadaan semula
sebagaiman perseroan sebelum ada kepailitan. Seandainya eksistensi badan hukum
PT tersebut hapus dengan adanya kepailitan, maka tentunya tidak memungkinkan
adanya pengangkatan kepailitan serta rehabilitasi perseroan karena sudah
hapusnya status badan hukum itu.
2) Kedua,
dalam proses kepailitan PT, maka PT tersebut masih dapat melakukan transaksi
hukum terhadap pihak kedua, dimana tentunya yang melakukan perbuatan hukum
perseroan tersebut adalah kurator atau setidak-tidaknya atas mandat kurator.
Sehingga tidak mungkin jika badan hukum perseroan telah tiada sementara masih
dapat melakukan proses transaksi tersebut.
3) Ketiga,
adalah dimungkinkannya untuk melanjutkan usaha perseroan yang dalam pailit
tentunya tidak dimungkinkan seandainya eksistensi badan hukum dari PT itu sudah
hapus bersamaan dengan pernyataan kepailitan PT itu.[2]
Dalam pada itu, dalam kasus-kasus tertentu kepailitan
perseroan bisa dimungkinkan tanpa likuidasi. Hal terakhir ini jika dipandang
perlu untuk meneruskan kegiatan usaha perseroan (going concern) sehingga menghasilkan keuntungan yang lebih yang
pada akhirnya hasil keuntungan tersebut digunkan untuk membayar utang-utang
perseroan. Melanjutkan perusahaan ini
merupakan langkah yang sangat strategis dalam hal terjadinya kepailitan
perseroan karena kesulitan jangka pendek sementara prospek perusahaan tersebut
masih baik.
Dalam konsep manajemen keuangan perseroan dikenal dengan
tiga jenis utang , yakni utang jangka pendek, utang jangka menengah, dan utang
jangka panjang. Kesulitan utang jangka pendek ini tidak mesti berhubungan
dengan kebangkrutan suatu perseroan terbatas. Dan kesulitan likuiditas ini
biasanya hanya sebagai akibat dari kesalahan manajemen cash flow (arus keluar masuk uang perseroan). Dalam teori manajemen
keuangan sebagaimana disebut diatas membedakan kesulitan keuangan perusahaan
menjadi :[3]
1) Economic
Failure, yang
berarti bahwa pendapatan perusahaan tidak dapat menutup biaya total, termasuk
biaya modal. Usaha yang economic failure dapat meneruskan
operasinya sepanjang kreditor berkeinginan untuk menyediakan tambahan modal dan
pemilik dapat menerima tingkat pengembalian ( return ) dibawah tingkat bunga pasar.
2) Business
Failure, istilah
ini digunakan oleh Dun dan Bradstreet yang merupakan penyusun utama failure statistic, untuk mendefenisikan
usaha yang menghentikan operasinya dengan akibat kerugian bagi kreditor. Dengan
demikian, suatu usaha dapat diklasifikasikan gagal meskipun tidak melalui
kebangkrutan secara normal. Juga suatu usaha dapat menghentikan/ mentup
usahanya tetapi tidak dianggap sebagai gagal.
3) Technical
Insolvency. Sebuah
perusahaan dapat dinilai bangkrut apabila tidak memenuhi kewajibannya yang
jatuh tempo. Technical Insolvency ini
mungkin menunjukkan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara dimana pada suatu waktu perusahaan dapat mengumpulkan
uang untuk memenuhi kewajibannya dan tetap hidup. Di lain pihak apabila technical insolvency merupakan gejala
awal dari economic failure, maka hal
ini merupakan tanda kearah bencana keuangan ( financial disaster ).
4) Insolvency
in bankruptcy.
Sebuah perusahaan dikatakan bankruptcy bilamana
nilai buku dari total kewajiban melebihi nilai pasar dari asset perusahaan. Hal
ini merupakan suatu keadaan yang lebih serius dibandingkan dengan technical insolvency, sebab pada umumnya
hal ini merupakan pertanda daari economic
failure yang mengarah ke likuidasi suatu usaha.
5) Legal
bankruptcy.
Kepailitan ini adalah putusan kepailitan yang dijatuhkan oleh pengadilan sesuai
dengan undang-undang karena mengalami tahapan-tahapan kesulitan keuangan
tersebut diatas.
Dari lima jenis kesulitan keuangan tersebut, maka kesulitan
keuangan jenis pertama, kedua, dan ketiga bisa dicarikan jalan keluarnya bukan
dengan dengan kepailitan. Jadi perseroan terbatas yang sedang mengalami
kesulitan keuangan, maka tidak secara apriori harus dinyatakan pailit. Namun
oleh karena sistem hukum kepailitan Indonesia menutup mata terhadap jenis
kesulitan keuangan perusahaan tersebut dalam kaitannya dengan kepailitan yang
berarti bahwa kepailitan perseroan terbatas tersebut sudah secara tekhnis bangkrut,
maka konsep pelanjutan usaha (on going
concern) memilki makna yang sangat strategis, terutama jika kepailitan
tersebut manyangkut perseroan terbatas yang memilki kesulitan keuangan tipe
kesatu, kedua, atau yang ketiga.
Dalam hal perseroan meneruskan kegiatan usahanya setelah
dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka eksistensi perseroan diakui sebagai
subjek hukum yang penuh dalam transaksi bisnis. Ada beberapa pembedaan
perseroan terbatas yang sudah dinyatakan pailit dalam melakukan kegiatan usahanya
jika dibandingkan dengan perseroan terbatas tidak dalam pailit, yakni organ
pengurus yang bertindak untuk dan atas nama perseroan adalah kurator bukan
direksi dari perseroan tersebut. Kurator inilah yang menjalankan tindakan
pengurursan perseroan terbatas. Namun tidak menutup kemungkinan kurator
memanfaatkan organ direksi dalam pengurusan perseroan terbatas dalam kepailitan
yang on going concern tersebut.[4]
Perseroan terbatas yang dinyatakan pailit tidak secara
otomatis bubar, melainkan masih eksis badan hukumnya, bahkan dalam keadaan
tertentu masih menjalankan usahanya seperti lazimnya perseroan terbatas ketika
tidak terjadinya kepailitan sebagaimana telah dijelaskan diatas. Kepailitan
menurut UUK diatur dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi :
”Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur
pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.”
Dari pasal diatas menerangkan, bahwa
apabila terjadi pailit pada suatu badan hukum maka akan terjadi penyitaan atau
sita umum terhadap kekayaan debitur yang nantinya pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Permohonan
pailit dapat diajukan oleh pihak yang berinisiatif untuk mengajukan pailit ke
pengadilan berdasarkan undang-undang kepailitan, pihak-pihak yang dapat
mengajukan permohonan pailit ialah :
1. Debitor itu sendiri
(Volutary petition),
2. Adany satu/lebih kreditur,
3. Kejaksaan untuk kepentingan
umum,
4. Bank Indonesia jika
debiturnya bank,
5.
Badan Pengawas Pasar Modal jika debiturnya perusahaan efek.[5]
Dengan adanya permohonan pailit
yang diajukan maka akan dikeluarkan putusan pernyataan pailit. Putusan
pernyataan pailit yang dikeluarkan atas permohonan kreditur dapat mengubah
seseorang (badan hukum) menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum,
menguasai dan mengurus harta kekayaannya sejak adanya pernyataan putusan pailit
diucapkan oleh ketua pengadilan.
Permohonan pailit tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga yang mengurus
perkara pailit, permohonan pailit yang diajukan akan dikabulkan apabila telah
terbukti secara sederhana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 ayat (4) UUK
menyatakan bahwa:
“ Permohonan pernyatan pailit
harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara
sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.”
Yang dimaksud dengan pembuktian
secara sederhana dalam pasal diatas adalah yang lazim disebut dengan pembuktian
secara sumir. Pembuktian sederhana atau sumir yang dimaksud dalam UU Kepailitan
tidak dapat menjawab sejauh mana batasan pembuktian sederhana tersebut.[6]
Akibat hukum dari adanya
kepailitan yang diberlakukan kepada
debitor oleh undang-undang. Menurut Munir Fuady akibat-akibat tersebut berlaku
kepada debitor dengan dua mode pemberlakuan yaitu :[7]
1) Berlaku demi hukum
Ada beberapa akibat yuridis yang
berlaku demi hukum (by the operation of
law) segera setelah adanya pernyataan pailit memiliki kekuatan tetap,
ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal telah adanya pernyataan
pailit pada debitur, maka debitur dilarang untuk meninggalkan tempat tinggalnya
selama masa pemberesan tersebut dilakukan. Walaupun dalam keadaanya seperti ini
pihak hakim pengawas masih mungkin dapat memberikan izin kepada debitur untuk
meninggalkan tempat tinggalnya.
2) Berlaku secara Rule of Reason
Akibat hukum ini tidak secara
otomatis berlaku, akan berlaku apabila diberlakukan oleh pihak-pihak yang memiliki
kepentingan, dengan mengajukan alasan-alasan yang wajar untuk memberlakukannya.
Dalam hal ini pihak-pihak yang dapat mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat
hukum tertentu tersebut misalany kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, dan
lain-lain. Akibat yang memerlukan rule of
reason adalah tindakan penyegelan harta pailit. Dalam hal ini harta debitur
dapat disegel atas persetujuan Hakim Pengawas jadi hal tersebut tidak dapat
terjadi secara otomatis. Reason yang dilakukan dalam penyegelan harta pailit
ini diartikan hanya untuk alasan pengamanan harta pailit tersebut.
Ada perbedaan mendasar antara akibat hukum kepailitan dari
subjek hukum orang dengan kepailitan suatu perseroan terbatas. Terhadap
kepailitan subjek hukum orang, maka demi hukum sipailit tidak berwenang lagi
untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya yang menjadi boedel pailit. Kewenangan untuk
melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya berlalih kepada kurator.
Kurator dalam kepalitan orang secara apriori melakukan pemberesan terhadap
harta pailit. Kurator tidak berwenang untuk mengebangkan usaha dari si pailit.[8]
Sedangkan kepailitan bagi perseroan terbatas tidak
menyebabkan secara otomatis perseroan terbatas tersebut berhenti mealkukan
segala perbuatan hukumnya. Yang secara otomatis melakukan perbuatan hukum yang
berkaitan dengan harta kekayaan perseroan adalah organ perseroan yang terdiri
dari pemegang saham, komisaris, dan direktur. Semua kewenangan tiga organ
perseroan tersebut beralih kepada kurator sepanjang berkaitan dengan harta kekayaan perseroan saja. Hal ini
mempunyai dua makna antara lain :[9]
1) Kewenangan dari tiga organ perseroan
terbatas menjadi berlaih kepada kurator sepanjang yang berhubungan dengan harta
kekayaan.
2) Kurator tidak hanya menggantikan
kewenangan kelembagaan direksi perseroan terbatas saja, akan tetapi melebihi
dari kewenangan direksi yakni didalamnya juga melekat kewengan komisaris dan
bahkan kewenangan pemegang saham sepanjang berhubungan dengan pengurusan dan
peerbuatan pemilikan harta kekayaan perseroan.
Kurator pada perseroan terbatas yang sedang pailit pada
prinsipnya mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan pengurusan harta pailit
dari perseroan tersebut. Dalam pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Kepaillitan
secara tegas menyatakan bahwa : “kurator tidak memerlukan persetujuan dari atau
menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor atau salah satu organ
debitor, meskipun dalam keadaan diluar kepailitan persetujuan atau
pemberitahuan demikian dipersyaratkan”.
Tanggung Jawab Organ PT Atas
Terjadinya Pailit PT
Menurut Pasal 1
ayat (2) Undang-Undang Perseroan
Terbatas, organ perseroan adalah Rapat
Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris. Ketiga organ ini
memiliki tugas, wewenang dan tanggung jawab yang berbeda.
A.
Tanggung jawab
Pemegang Saham.
Kedudukan pemegang saham sangat penting dalam suatu
perseroan terbatas. Rudi Prasetya menyatakan bahwa pemegang saham yang
berkepentingan terhadap PT (Rudi Prasetya, 2001). Kepentingan itu berupa:
1)
memperoleh pembagian keuntungan tahunan
yang disebut deviden dalam hal PT memperoleh keuntungan.
2)
dan sekiranya saham PT memasuki pasar
modal, maka akam memperoleh keuntungan jika harga kurs saham dalam bursa naik
(capital gain).
3)
memperoleh pembagian sisa harta kekayaan
PT dalam hal PT bubar.
Mengenai kedudukan RUPS dalam perseroan terbatas
Pasal 1 ayat (3) UU PT mengatur bahwa RUPS adalah organ PT yang memegang
kekuasaan tertinggi dalam persekutuan dan memegang segala wewenang yang
diserahkan kepada Direksi atau Komisaris. Untuk mengukur tanggungjawab dari
pemegang saham harus dikaji terlebih dahulu kewenangan apa yang dimiliki oleh
pemegang saham.Undang-undang PT memberikan wewenang kepada pemegang saham
mengunakan konsep teori residu (teori sisa) yakni bahwa pemegang saham
mempunyai wewenang atas semua hal yang tidak diberikan oleh direksi atau
komisaris. Kewenangan itu adalah :
1)
Mengangkat dan memberhentikan direksi
dan komisaris.;
2)
Memperoleh segala keterangan yang
berkaitan dengan kepentingan perseroan dari direksi dan/komisaris;
3)
Memberikan presetujuan kepada Direksi
untuk mengalihkan atau menjaminkan seluruh atau sebagian besar kekayaan
perseroan;
4)
Mengubah ketentuan-ketentan Anggaran
Dasar sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku;
5)
Memberikan putusan untuk mengajukan
kepailitan perseroan;
6)
Memberikan persetujuan kepada Direksi
mengenai rencana penggabungan atau peleburan;
7)
Pembelian kembali saham perseroan;
8)
Penetapan penambahan atau pengurangan
modal perseroan;
9)
Persetujuan laporan tahunan dan
pengesahan perhitungan tahunan;
10)
Penentuan penggunaan laba;
11)
Pembubaran perseroan;
Berkaitan dengan kewenangan RUPS tersebut maka dapat
ditentukan mengenai tanggung jawab hukum pemegang saham. Pada prinsipnya
sebatas kewenangan pemegang saham tersebut, maka segala tindakan dari RUPS
menjadi tanggung jawab dari perseroan itu. Undang-undang PT Pasal 3 Ayat (1)
dinyatakan bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab atas kerugian
perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya. Pasal 3 ayat (2) UUPT
menyatakan bahwa ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila:
1)
Persyaratan perseroan sebagai badan
hukum belum atau tidak terpenuhi.
2)
Pemegang saham yang bersangkutan baik
langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan perseroan
semata-mata untuk kepentingan pribadi.
3)
Pemengang saham yang bersangkutan
terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan perseroan itu, atau
4)
Pemegang saham yang bersangkutan baik
langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan
perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.
Maksud dari ketentuan Pasal 3 ayat (2) ini bahwa
menurut asasnya Perseroan Terbatas merupakan asosiasi modal, namun dalam
praktek sebagian besar pemilihan bentuk badan usaha Perseroan Terbatas sekedar
untuk mengambil manfaat atas karakterisistik yang terkandung dalam Perseroan Terbatas. Tidak jarang
pemilihan bentuk Perseroan Terbatas sebenarnya hanya untuk penyalahgunaan
sehingga pada akhirnya dapat mendatangkan kerugian pihak lain. Dalam hubungan
dengan itulah ketentuan Pasal 3 ayat (2) (b), (c), (d), yaitu jika ternyata
pemegang saham menyalah gunakan bentuk Perseroan Terbatas tersebut maka
menjadikannya harus bertanggung jawab secara pribadi, maksudnya jika kekayaan
Perseroan Terbatas tidak mencukupi, maka dapat dimintakan pertanggung jawaban
dari harta kekayaan pribadi pemegang saham.[10]
B. Tanggung jawab Direksi
Direksi adalah salah satu organ PT yang memiliki
tugas serta bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan
tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik
dialam dan diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar,
Direksi mempunyai fungsi dan peranan yang sangat sentral dalam paradikma
Perseroan Terbatas hal ini karena Direksi yang menjalankan kepengurusan dan
perwakilan Perseroan Terbatas. Ketentuan normatif
dalam
Undang-undang Perseroan Terbatas maka fungsi Direksi adalah melakukan
pengurusan dan perwakilan. Pengurusan berkaitan dengan tugas-tugas internal
suatu Perseroan Terbatas untuk kepentingan dalam rangka pencapaian maksud
tujuan perseroan sedangkan perwakilan adalah berkaitan dengan tugas mewakili
perseroan dalam berinteraksi dengan pihak ketiga maupun mewakili diluar dan di
dalam perusahaan.
Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
harus menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Direksi dapat
digugat secara pribadi ke Pengadilan Negeri jika perseroan mengalami kerugian
yang disebabkan karena kelalaiannya Begitu juga dalam kepailitan yang terjadi
karena kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup
untuk menutupkerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi bertanggung
jawab secara renteng atas kerugian tersebut.[11]
Prinsip managemen perseroan yang baik yang telah
diakomodasi dalam ketentuan undang-undang Perseeoan Terbatas masih harus
dijabarkan secara detail dan dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Ketentuan
dalam Undang-undang tersebut hanya menjelaskan tanggung jawab Direksi secara
umum berdasarkan hubungan kepercayaan (fiduciary of relationship) antara
Direksi dan perseroan. Jika diperjelas hubungan tersebut mengandung tiga faktor
penting yaitu:
1) Prinsip
kehati-hatian dalam bertindak (duty of skill and care).
2) Prinsip
itikad baik untuk bertindak semata-mata demi kepentingan dan tanggung jawab perseroan
(duty of loyalty).
3) Prinsip
tidak mengambil keuntungan pribadi atas suatu kesempatan yang sebenarnya milik
atau diperuntukkan bagi perseroan (no secret profit rule doctrine of
corporate opportunity).
Menentukan keadaan Direksi dianggap melanggar
prinsip tersebut secara detail merupakan hal yang tidak mudah. Berdasarkan
prinsip tersebut di atas Direksi dapat menggunakan konsep yang dikenal sebagai the
business judgement rule, yang merupakan suatu prinsip yang memberikan perlindungan
bagi direksi atas dakwaan pelanggaran ketiga prinsip tersebut. Dengan menggunakan
prinsip the business judgement rule Direksi dapat dibebaskan dari
tanggungjawab secara pribadi, sekalipun tindakannya merugikan perseroan,
asalkan tindakannya dilakukan sebagai keputusan bisnis yang dibuat berdasarkan
itikad baik semata-mata untuk kepentingan perusahaan. Hal ini sesuai dengan
Pasal 97 ayat (5) UU PT sebagai berikut, bahwa anggota direksi tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara pribadi atas kerugian yang dimaksud pada ayat (3)
jika dapat membuktikan:
1)
bahwa kerugian tersebut bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya;
2)
telah melakukan pengurusan dengan itkad
baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan;
3)
tidak mempunyai bentuan kepentingan baik
langsung maupun tidaj langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan
kerugian; dan
4)
telah mengambil tindakan untuk mencegah
timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Demikian juga tanggung jawab Direksi dalam hal
terjadi kepailitan adalah sama dengan tanggung jawab Direksi yang perusahaannya
tidak mengalami kepailitan. Prinsipnya Direksi tidak bertanggung jawab secara
pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya untuk dan atas nama perusahaan
berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Hal ini karena perbuatan Direksi dipandang
sebagai perbuatan Perseroan Terbatas yang merupakan subyek hukum mandiri sehingga
perseroan yang bertanggung jawab terhadap perbuatan perseroan sendiri yang
dalam hal ini dipresentasikan oleh direksi. Namun dalam beberapa hal direksi
dapat pula dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi dalam kepailitan
Perseroan Terbatas ini. Pasal 104 ayat (2) UUPT menyebutkan Dalam hal
kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kelalaian atau
kesalahan Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban
perseroan dalam kepailitan tersebut setiap anggota direksi secara tanggungrenteng
bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang terlunasi dari harta pailit tersebut.
Bukan hal yang mudah untuk membuktikan bahwa direksi telah melakukan kesalahan/kelalaian
sehingga menyebabkan suatu perseroan mengalami kebangkrutan yang berujung pada
kepailitan.
Mengenai tanggung jawab Direksi yang perseoannya
mengalami kepailitan, Munir Fuady menyatakan bahwa apabila suatu perseroan
pailit, maka sekonyong-konyong (tidak demi hukum) pihak Direksi harus bertanggung
jawab secara pribadi. Agar dapat dimintakan pertanggung jawaban pribadi ketika
perusahaan pailit harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Terdapatnya
unsur kesalahan (kesengajaan) atau kelalaian dari Direksi (dengan pembuktian
biasa);
2) Untuk
membayar utang dan ongkos-ongkos kepailitan haruslah diambil terlebih dahulu dari
aset-aset perseroan. Bila aset tidak mencukupi barulah diambil aset pribadi
Direksi;
3) Diberlakukan
pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) bagi anggota direksi yang dapat
membuktikan bahwa kepailitan perseroan bukan karena kesalahan (kesengajaan) atau
kelaliaianya.[12]
Permasalahan berikutnya mengenai tanggung jawab
adalah mekanisme permintaan pertanggung jawaban direksi yang karena
kesalahannya atau karena kelalaiannya menyebabkan perseroan tersebut pailit.
Apakah secara mutatis mutandis berlaku terhadap Direksi, dimana Kurator
langsung meminta pertanggungjawaban pribadi terhadap Direksi atau diperlukan
suatu acara gugatan di pengadilan? Undang-undang Kepailitan tidak mengatur hal
ini demikian juga dengan Undang-undang Perseroan Terbatas. M Hadi Subhan
berpendapat bahwa Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad) bisa dijadikan alternative untuk meminta pertanggung jawaban Direksi
yang telah melakukan kesalahan sehingga mengakibatkan kerudian pihak ketiga.
Selain pertanggung jawaban perdata (civil
liability) Direksi dapat juga dikenakan pertanggung jawaban pidana (criminal
liability) dalam kepailitan perseroan terbatas ini. Ketentuan pidana ini
berkait dengan tindakan organ perseroan tersebut dinyatakan pailit dan juga berkait
dengan terjadinya pailit Perseroan Terbatas. Ketentuan pertanggung jawaban
pidana terhadap Direksi diatur dalam Pasal 398 dan 399 KUHP. Pasal 398 KUHP
mengatur, bahwa
Seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai
andil Indonesia atau yang penyelesaianya oleh pengadilan yang telah
diperintahkan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan.
1)
Bila yang bersangkutan turut membantu
atau mengijinkan untuk melakukan perbuatan perbuatan yang bertentangan dengan
anggaran dasar, yang menyebabkan seluruh atau sebagian besar dari kerugian yang
diderita oleh perseroan maskapai atau perkumpulan.
2)
Bila yang bersangkutan dengan maksud
untuk menangguhkan atau penyelesaian perseroan, maskapai atau perkumpulan,
turut membantu atau mengijinkan pinjaman uang dengan syarat-syarat yang
memberatkan padahal ia tahu bahwa kepailitan atau penyelesaiannya tidak dapat
dicegah lagi.
3)
Bila yang bersangkutan dapat
dipersalahkan tidak memenuhi kewajiban tersebut seperti dalam Pasal 6 alinea
pertama KUHD dan Pasal 27 ayat (1) ordonansi tentang maskapai andil Indonesia
atau bahwa buku-buku dan surat-surat yang memuat catatan-catatan dan tulisan-tulisan
yang disimpan menurut pasal tadi tidak dapat diperlihatkannya dalam keadaan
tidak diubah.
Berdasarkan Pasal 399 KUHP, bahwa Pengurus atau
komisionaris perseroan terbatas, maskapai Andil Indonesia atau perkumpulan
koperasi yang dinyatakan pailit atau yang penyelesaianya oleh pengadilan telah
diperintahkan diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun bila yang
bersangkutan mengurangi secara curang hak-hak pemiutangan pada perseroan.
Maskapai
atau perkumpulan untuk :
1) Membuat
pengeluaran yang tidak ada atau tudak membukukan pendapatan atau menarik barang
sesuatu dari boedel;
2) Telah
memindahtangankan barang sesuatu dengan Cuma-Cuma atau jelas dibawah harganya;
3) Dengan
sesuatu cara menguntungkan salah seorang pemiutang pada wktu kepailitan atau penyelesaian
atau apapun pada saat dia tahu bahwa kepailitan atau penyelesaiaan tadi tidak
dapat dicegah lagi.
4) Tidak
memenuhi kewajibannya untuk membuat catatan penurut Pasal 6 alinea pertama KUHD
aatu Pasal 27 (1) ordonansi tentang maskapai andil Indonesia dan tentang menyimpan
dan memperlihatkan buku-buku, surat-surat, dan tulisan-tulisan menurut pasal-pasal
itu.
Berdasarkan ketentuan kedua pasal, yaitu Pasal 398
dan Pasal 399 tersebut dapat disimpulkan bahwa anggota Direksi maupun Komisaris
Perseroan Terbatas dapat dituntut secara pidana apabila mereka telah
menyebabkan kerugian para kreditur Perseroan Terbatas dan dapat dikenakan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan apabila mereka turut serta
dalam memberi persetujuan atas perbuatan-perbuatan yang melanggar anggaran
dasar Prseroan Terbatas dan perbuatan tersebut kerugian berat sehingga
Perseroan Terbatas jatuh pailit atau turut serta dalam atau memberi persetujuan
atas pinjaman dengan persyaratan yang memberatkan dengan maksud menunda kepailitan
Perseroan Terbatas atau lalai dalam mengadakan pembukuan sebagaimana diwajibkan
dalam UUPT dan anggaran dasar Perseroan Terbatas. Selanjutnya baik direksi
maupun komisaris Perseroan Terbatas yang telah dinyatakan pailit dapat dituntut
secara pidana dan dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun bila
merekayasa pengeluaran / utang dengan maksud mengurangi secara curang hak-hak
para kreditur Perseroan Terbatas atau mengalihkan kekayaan Perseroan Terbatas
dengan Cuma-Cuma atau dengan harga jauh dibawah kewajaran.
C.
Tanggung jawab
Komisaris.
Dewan komisaris adalah organ yang bertugas melakukan
pengawasan dan memberikan nasehat kepada direksi dalammenjalankan pengurusan
perseroan. Dalam menjalankan tugasnya dewan komisaris berwenang untuk memasuki
kantor perseroan, mendapatkan laporan direksi, memeriksa dokumen perseroan,
menyetujui atau tidak menyetujui suatu tindakan tertentu dari Direksi yang
diatur dalam anggaran dasar, serta memberhentikan sementara direksi dan pengurus
perseroan jika perseroan tidak memiliki Direksi.
Berbeda dengan anggota Direksi, Dewan Komisaris
bertindak sebagai majelis, Dewan Komisaris tidak dapat bertindak
sendiri-sendiri mewakili Direksi. Komisaris wajib bertindak dengan itikad baik
dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.
Pemegang saham, atas nama perseroan jika mempunyai paling sedikit 1/10 bagian dari
seluruh jumlah saham dengan hak suara yang sah dapat melakukan tuntutan kepada Komisaris
yang karena kesalahan dan kelalaiannya menimbulkan kerugian perseoan. Dewan
Komisaris merupakan organ perseroan yang melakukan pengawasan atas kebijaksanaan
kepengurusan dan tindakan pengurusan oleh direksi, fungsi tersebut dewan Komisaris
berkewajiban memberikan nasehat kepada Direksi. Dalam kepustakaan dikatakan
bahwa pengawasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh atasan untuk
melakukan penilaian terhadap hasil kerjaan bawahan apakah sesuai dengan suatu
pedoman atau kebijaksanaan yang ditetapkan sebelumnya.[13]
Dengan demikian titik berat dari tugas Dewan Komisaris adalah mengawasi
pengurusan yang dijalankan oleh Direksi, menurut UU PT, Dewan Komisaris
memiliki dua wewenang yang bersifat preventif untuk mengantisipasi kesalahan
dalam mengambil keputusan perseroan dan wewenang yang bersifat represif untuk mengambil
tindakan setelah perseroan melakukan kesalahan.
Berdasarkan Pasal 114 Undang Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan demikian:
1)
Dewan Komisaris bertanggungjawab atas
pengawasan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1).
2)
Setiap angota Dewan Komisaris wajib
dengan itikad baik, kehati-hatian dan bertanggungjawab dalam menjalankan tugas
pengawasan dan pemberian nasehat kepada Direksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan
tujuan Perseroan.
3)
Setiap anggota Dewan Komisaris ikut
bertanggungjawab secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang
bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (2)
4)
Dalam hal Dewan Komisaris terdiri atas
dua anggota Dewan Komisaris atau lebih tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada
ayat(3) berlaku secara renteng bagi setiap anggota Dewan Komisaris.
5)
Anggota Dewan Komisaris tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila
dapat membuktikan:
a.
telah melakukan pengawasan dengan itikad
baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan
tujuan perseroan;
b.
tidak mempunyai kepentingan pribadi baik
langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan Direksi yang
mengakibatkan kerugian; dan
c.
telah memberikan nasehat kepada Direksi
untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut
6)
Atas nama perseroan, pemegang saham yang
mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh pemegang saham dengan
hak suara dapat mengugat anggota Dewan Komisaris yang kareana kesalahan atau
kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan ke Pengadilan Negeri
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas jelas bahwa
jika komisaris lalai dalam menjalankan kewajibannya yakni tidak dengan itikad
baik dan bertanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan perusahaan, maka
Komisaris harus bertanggung jawab secara hukum. Jika Komisaris bersalah maka
seluruh anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara renteng. Berdasarkan
Pasal 115 UU PT, bahwa tanggung jawab Dewan Komisaris dalam hal terjadi kepailitan
karena kesalahan atau kelalaian dewan Komisaris dalam melakukan tugas
pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh direksi dan kekayaan
perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan akibat
kepailitan tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng
ikut bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum
dilunasi.
Dalam UUPT dimungkinkan juga bagi Komisaris untuk
tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas kerugian perseroan, jika dapat
membuktikan bahwa: telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan
kehati-hatian untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
tidak memiliki kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan
pengurusan oleh Direksi yang mengakibatkan kepailitan; dan telah memberikan
nasehat kepada direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan. Selain ancaman
ganti rugi seperti halnya Direksi, Dewan Komisaris juga dapat terkena ancaman
pidana seperti yang terdapat dalam Pasal 397 dan Pasal 398 KUHP.
[1] M.Hadi Subhan, 2008, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik
di Peradilan, edisi pertama,
cet.ke-1, Prenada Media Group, Jakarta, hal.198
[2] Ibid, h.199
[3] Ibid, h.202
[4] Ibid, h.205
[5] Sayudi Aria, dkk, 2004 “Kepailitan Dinegeri Pailit”, cetakan kedua, Pusat Studi Hukum & kebijakan Indonesia
dicetak oleh Dimensi, Jakarta, h.76
[6] Ibid, hal.148
[7] Munir Fuady, 2002“Hukum Pailit 1998”, cetakan kedua,
Bandung, hal. 65
[8] M. Hadi Subhan, Op.Cit.hal.209
[9] Ibid
[10] Rudhi Prasetya,
2001, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai dengan Ulasan menurut UU
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Citra Adiyta Bakti, Bandung,
h.197
[11] Wicaksana,
Satria F., 2009, Tanggung jawab Pemegang Saham, Direksi, & Komisaris
Perseroan Terbatas (PT). Jakarta, h.119
[12] Munir Fuady,
2002, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek (Buku ke-1) Citra Aditya
Bakti, Bandung, h.26
[13] Moenaf H.Regar, 2000, Dewan Komisaris Peranannya Sebagai Organ
Perseroan, Bumi Aksara, Jakarta, h.64
titanium pen - TITanium-ART - TITanium-ART
BalasHapusThis is a steel model with an attractive design, and a high design titanium white fennec that race tech titanium offers a smooth and durable cartridge. micro titanium trim The 2019 ford edge titanium for sale Titanium-ART cartridge has a thickness $69.99 · In babyliss pro titanium stock