Laman

Jumat, 12 September 2014

EKSISTENSI YURIDIS PT. YANG TELAH DIPAILITKAN

            Tujuan utama proses kepailitan terhadap perseroan terbatas adalah untuk mempercepat proses likuidasi dalam rangka pendistribusian aset perseroan dalam rangka membayar utang-utang perseroan karena perseroan telah mengalami kesulitan keuangan yang menyebabkan insolvensi perseroan tersebut. Dengan demikian, eksistensi PT yang dipailitkan segera berakhir dengan percepatan pemberesan proses likuidasi tersebut. Prinsip utama kepailitan PT adalah menyegerakan proses likuidasi asset perseroan untuk kemudian membagikannya kepada segenap kreditornya.[1]
            Eksistensi yuridis dari PT yang telah dipailitkan adalah masih tetap ada eksistensi badan hukumnya. Dengan dinyatakannya pailit tidak muitatis mutandis badan hukum perseroan menjadi tidak ada. Suatu argumentasi yuridis mengenai proposisi ini setidaknya ada tiga landasan :
1)      Pertama, kepailitan terhadap PT tidak mesti berakhir dengan likuidasi dan pembubaran badan hukum perseroan. Dalam hal harta kekayaan perseroan telah mencukupi seluruh tagihan-tagihan kreditor dan biaya-biaya yang timbul dari kepailitan, maka langkah berikutnya adalah pengakhiran kepailitan dengan jalan rehabilitasi dan kepailitan diangkat serta berakibat PT itu kembali pada keadaan semula sebagaiman perseroan sebelum ada kepailitan. Seandainya eksistensi badan hukum PT tersebut hapus dengan adanya kepailitan, maka tentunya tidak memungkinkan adanya pengangkatan kepailitan serta rehabilitasi perseroan karena sudah hapusnya status badan hukum itu.
2)      Kedua, dalam proses kepailitan PT, maka PT tersebut masih dapat melakukan transaksi hukum terhadap pihak kedua, dimana tentunya yang melakukan perbuatan hukum perseroan tersebut adalah kurator atau setidak-tidaknya atas mandat kurator. Sehingga tidak mungkin jika badan hukum perseroan telah tiada sementara masih dapat melakukan proses transaksi tersebut.
3)      Ketiga, adalah dimungkinkannya untuk melanjutkan usaha perseroan yang dalam pailit tentunya tidak dimungkinkan seandainya eksistensi badan hukum dari PT itu sudah hapus bersamaan dengan pernyataan kepailitan PT itu.[2]

Dalam pada itu, dalam kasus-kasus tertentu kepailitan perseroan bisa dimungkinkan tanpa likuidasi. Hal terakhir ini jika dipandang perlu untuk meneruskan kegiatan usaha perseroan (going concern) sehingga menghasilkan keuntungan yang lebih yang pada akhirnya hasil keuntungan tersebut digunkan untuk membayar utang-utang perseroan.  Melanjutkan perusahaan ini merupakan langkah yang sangat strategis dalam hal terjadinya kepailitan perseroan karena kesulitan jangka pendek sementara prospek perusahaan tersebut masih baik.
Dalam konsep manajemen keuangan perseroan dikenal dengan tiga jenis utang , yakni utang jangka pendek, utang jangka menengah, dan utang jangka panjang. Kesulitan utang jangka pendek ini tidak mesti berhubungan dengan kebangkrutan suatu perseroan terbatas. Dan kesulitan likuiditas ini biasanya hanya sebagai akibat dari kesalahan manajemen cash flow (arus keluar masuk uang perseroan). Dalam teori manajemen keuangan sebagaimana disebut diatas membedakan kesulitan keuangan perusahaan menjadi :[3]
1)      Economic Failure, yang berarti bahwa pendapatan perusahaan tidak dapat menutup biaya total, termasuk biaya modal. Usaha yang  economic failure dapat meneruskan operasinya sepanjang kreditor berkeinginan untuk menyediakan tambahan modal dan pemilik dapat menerima tingkat pengembalian ( return ) dibawah tingkat bunga pasar.
2)      Business Failure, istilah ini digunakan oleh Dun dan Bradstreet yang merupakan penyusun utama failure statistic, untuk mendefenisikan usaha yang menghentikan operasinya dengan akibat kerugian bagi kreditor. Dengan demikian, suatu usaha dapat diklasifikasikan gagal meskipun tidak melalui kebangkrutan secara normal. Juga suatu usaha dapat menghentikan/ mentup usahanya tetapi tidak dianggap sebagai gagal.
3)      Technical Insolvency. Sebuah perusahaan dapat dinilai bangkrut apabila tidak memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo. Technical Insolvency ini mungkin menunjukkan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara  dimana pada suatu waktu perusahaan dapat mengumpulkan uang untuk memenuhi kewajibannya dan tetap hidup. Di lain pihak apabila technical insolvency merupakan gejala awal dari economic failure, maka hal ini merupakan tanda kearah bencana keuangan ( financial disaster ).
4)      Insolvency in bankruptcy. Sebuah perusahaan dikatakan bankruptcy bilamana nilai buku dari total kewajiban melebihi nilai pasar dari asset perusahaan. Hal ini merupakan suatu keadaan yang lebih serius dibandingkan dengan technical insolvency, sebab pada umumnya hal ini merupakan pertanda daari economic failure yang mengarah ke likuidasi suatu usaha.
5)      Legal bankruptcy. Kepailitan ini adalah putusan kepailitan yang dijatuhkan oleh pengadilan sesuai dengan undang-undang karena mengalami tahapan-tahapan kesulitan keuangan tersebut diatas.
Dari lima jenis kesulitan keuangan tersebut, maka kesulitan keuangan jenis pertama, kedua, dan ketiga bisa dicarikan jalan keluarnya bukan dengan dengan kepailitan. Jadi perseroan terbatas yang sedang mengalami kesulitan keuangan, maka tidak secara apriori harus dinyatakan pailit. Namun oleh karena sistem hukum kepailitan Indonesia menutup mata terhadap jenis kesulitan keuangan perusahaan tersebut dalam kaitannya dengan kepailitan yang berarti bahwa kepailitan perseroan terbatas tersebut sudah secara tekhnis bangkrut, maka konsep pelanjutan usaha (on going concern) memilki makna yang sangat strategis, terutama jika kepailitan tersebut manyangkut perseroan terbatas yang memilki kesulitan keuangan tipe kesatu, kedua, atau yang ketiga.
Dalam hal perseroan meneruskan kegiatan usahanya setelah dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka eksistensi perseroan diakui sebagai subjek hukum yang penuh dalam transaksi bisnis. Ada beberapa pembedaan perseroan terbatas yang sudah dinyatakan pailit dalam melakukan kegiatan usahanya jika dibandingkan dengan perseroan terbatas tidak dalam pailit, yakni organ pengurus yang bertindak untuk dan atas nama perseroan adalah kurator bukan direksi dari perseroan tersebut. Kurator inilah yang menjalankan tindakan pengurursan perseroan terbatas. Namun tidak menutup kemungkinan kurator memanfaatkan organ direksi dalam pengurusan perseroan terbatas dalam kepailitan yang on going concern tersebut.[4]
Perseroan terbatas yang dinyatakan pailit tidak secara otomatis bubar, melainkan masih eksis badan hukumnya, bahkan dalam keadaan tertentu masih menjalankan usahanya seperti lazimnya perseroan terbatas ketika tidak terjadinya kepailitan sebagaimana telah dijelaskan diatas. Kepailitan menurut UUK diatur dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi :
”Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.”
Dari pasal diatas menerangkan, bahwa apabila terjadi pailit pada suatu badan hukum maka akan terjadi penyitaan atau sita umum terhadap kekayaan debitur yang nantinya pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Permohonan pailit dapat diajukan oleh pihak yang berinisiatif untuk mengajukan pailit ke pengadilan berdasarkan undang-undang kepailitan, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit ialah :
1.      Debitor itu sendiri (Volutary petition),
2.      Adany satu/lebih kreditur,
3.      Kejaksaan untuk kepentingan umum,
4.      Bank Indonesia jika debiturnya bank,
5.      Badan Pengawas Pasar Modal jika debiturnya perusahaan efek.[5]
Dengan adanya permohonan pailit yang diajukan maka akan dikeluarkan putusan pernyataan pailit. Putusan pernyataan pailit yang dikeluarkan atas permohonan kreditur dapat mengubah seseorang (badan hukum) menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai dan mengurus harta kekayaannya sejak adanya pernyataan putusan pailit diucapkan oleh ketua pengadilan.  Permohonan pailit tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga yang mengurus perkara pailit, permohonan pailit yang diajukan akan dikabulkan apabila telah terbukti secara sederhana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 ayat (4) UUK menyatakan bahwa:
“ Permohonan pernyatan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.”
Yang dimaksud dengan pembuktian secara sederhana dalam pasal diatas adalah yang lazim disebut dengan pembuktian secara sumir. Pembuktian sederhana atau sumir yang dimaksud dalam UU Kepailitan tidak dapat menjawab sejauh mana batasan pembuktian sederhana tersebut.[6]
Akibat hukum dari adanya kepailitan  yang diberlakukan kepada debitor oleh undang-undang. Menurut Munir Fuady akibat-akibat tersebut berlaku kepada debitor dengan dua mode pemberlakuan yaitu :[7]
1)      Berlaku demi hukum
Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah adanya pernyataan pailit memiliki kekuatan tetap, ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal telah adanya pernyataan pailit pada debitur, maka debitur dilarang untuk meninggalkan tempat tinggalnya selama masa pemberesan tersebut dilakukan. Walaupun dalam keadaanya seperti ini pihak hakim pengawas masih mungkin dapat memberikan izin kepada debitur untuk meninggalkan tempat tinggalnya.
2)      Berlaku secara Rule of Reason
Akibat hukum ini tidak secara otomatis berlaku, akan berlaku apabila diberlakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan, dengan mengajukan alasan-alasan yang wajar untuk memberlakukannya. Dalam hal ini pihak-pihak yang dapat mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hukum tertentu tersebut misalany kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, dan lain-lain. Akibat yang memerlukan rule of reason adalah tindakan penyegelan harta pailit. Dalam hal ini harta debitur dapat disegel atas persetujuan Hakim Pengawas jadi hal tersebut tidak dapat terjadi secara otomatis. Reason yang dilakukan dalam penyegelan harta pailit ini diartikan hanya untuk alasan pengamanan harta pailit tersebut.
Ada perbedaan mendasar antara akibat hukum kepailitan dari subjek hukum orang dengan kepailitan suatu perseroan terbatas. Terhadap kepailitan subjek hukum orang, maka demi hukum sipailit tidak berwenang lagi untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya yang menjadi boedel pailit. Kewenangan untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya berlalih kepada kurator. Kurator dalam kepalitan orang secara apriori melakukan pemberesan terhadap harta pailit. Kurator tidak berwenang untuk mengebangkan usaha dari si pailit.[8]
Sedangkan kepailitan bagi perseroan terbatas tidak menyebabkan secara otomatis perseroan terbatas tersebut berhenti mealkukan segala perbuatan hukumnya. Yang secara otomatis melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan perseroan adalah organ perseroan yang terdiri dari pemegang saham, komisaris, dan direktur. Semua kewenangan tiga organ perseroan tersebut beralih kepada kurator sepanjang berkaitan  dengan harta kekayaan perseroan saja. Hal ini mempunyai dua makna antara lain :[9]
1)      Kewenangan dari tiga organ perseroan terbatas menjadi berlaih kepada kurator sepanjang yang berhubungan dengan harta kekayaan.
2)      Kurator tidak hanya menggantikan kewenangan kelembagaan direksi perseroan terbatas saja, akan tetapi melebihi dari kewenangan direksi yakni didalamnya juga melekat kewengan komisaris dan bahkan kewenangan pemegang saham sepanjang berhubungan dengan pengurusan dan peerbuatan pemilikan harta kekayaan perseroan.
Kurator pada perseroan terbatas yang sedang pailit pada prinsipnya mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan pengurusan harta pailit dari perseroan tersebut. Dalam pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Kepaillitan secara tegas menyatakan bahwa : “kurator tidak memerlukan persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor atau salah satu organ debitor, meskipun dalam keadaan diluar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan”.

Tanggung Jawab Organ PT Atas Terjadinya Pailit PT
Menurut Pasal 1 ayat (2)  Undang-Undang Perseroan Terbatas, organ perseroan adalah  Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris. Ketiga organ ini memiliki tugas, wewenang dan tanggung jawab yang berbeda.
A.    Tanggung jawab Pemegang Saham.
Kedudukan pemegang saham sangat penting dalam suatu perseroan terbatas. Rudi Prasetya menyatakan bahwa pemegang saham yang berkepentingan terhadap PT (Rudi Prasetya, 2001). Kepentingan itu berupa:
1)      memperoleh pembagian keuntungan tahunan yang disebut deviden dalam hal PT memperoleh keuntungan.
2)      dan sekiranya saham PT memasuki pasar modal, maka akam memperoleh keuntungan jika harga kurs saham dalam bursa naik (capital gain).
3)      memperoleh pembagian sisa harta kekayaan PT dalam hal PT bubar.
Mengenai kedudukan RUPS dalam perseroan terbatas Pasal 1 ayat (3) UU PT mengatur bahwa RUPS adalah organ PT yang memegang kekuasaan tertinggi dalam persekutuan dan memegang segala wewenang yang diserahkan kepada Direksi atau Komisaris. Untuk mengukur tanggungjawab dari pemegang saham harus dikaji terlebih dahulu kewenangan apa yang dimiliki oleh pemegang saham.Undang-undang PT memberikan wewenang kepada pemegang saham mengunakan konsep teori residu (teori sisa) yakni bahwa pemegang saham mempunyai wewenang atas semua hal yang tidak diberikan oleh direksi atau komisaris. Kewenangan itu adalah :
1)      Mengangkat dan memberhentikan direksi dan komisaris.;
2)      Memperoleh segala keterangan yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari direksi dan/komisaris;
3)      Memberikan presetujuan kepada Direksi untuk mengalihkan atau menjaminkan seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan;
4)      Mengubah ketentuan-ketentan Anggaran Dasar sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku;
5)      Memberikan putusan untuk mengajukan kepailitan perseroan;
6)      Memberikan persetujuan kepada Direksi mengenai rencana penggabungan atau peleburan;
7)      Pembelian kembali saham perseroan;
8)      Penetapan penambahan atau pengurangan modal perseroan;
9)      Persetujuan laporan tahunan dan pengesahan perhitungan tahunan;
10)  Penentuan penggunaan laba;
11)  Pembubaran perseroan;
Berkaitan dengan kewenangan RUPS tersebut maka dapat ditentukan mengenai tanggung jawab hukum pemegang saham. Pada prinsipnya sebatas kewenangan pemegang saham tersebut, maka segala tindakan dari RUPS menjadi tanggung jawab dari perseroan itu. Undang-undang PT Pasal 3 Ayat (1) dinyatakan bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya. Pasal 3 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila:
1)      Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi.
2)      Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi.
3)      Pemengang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan perseroan itu, atau
4)      Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.
Maksud dari ketentuan Pasal 3 ayat (2) ini bahwa menurut asasnya Perseroan Terbatas merupakan asosiasi modal, namun dalam praktek sebagian besar pemilihan bentuk badan usaha Perseroan Terbatas sekedar untuk mengambil manfaat atas karakterisistik yang terkandung  dalam Perseroan Terbatas. Tidak jarang pemilihan bentuk Perseroan Terbatas sebenarnya hanya untuk penyalahgunaan sehingga pada akhirnya dapat mendatangkan kerugian pihak lain. Dalam hubungan dengan itulah ketentuan Pasal 3 ayat (2) (b), (c), (d), yaitu jika ternyata pemegang saham menyalah gunakan bentuk Perseroan Terbatas tersebut maka menjadikannya harus bertanggung jawab secara pribadi, maksudnya jika kekayaan Perseroan Terbatas tidak mencukupi, maka dapat dimintakan pertanggung jawaban dari harta kekayaan pribadi pemegang saham.[10]

B.     Tanggung jawab Direksi
Direksi adalah salah satu organ PT yang memiliki tugas serta bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik  dialam dan diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar, Direksi mempunyai fungsi dan peranan yang sangat sentral dalam paradikma Perseroan Terbatas hal ini karena Direksi yang menjalankan kepengurusan dan perwakilan Perseroan Terbatas. Ketentuan normatif
dalam Undang-undang Perseroan Terbatas maka fungsi Direksi adalah melakukan pengurusan dan perwakilan. Pengurusan berkaitan dengan tugas-tugas internal suatu Perseroan Terbatas untuk kepentingan dalam rangka pencapaian maksud tujuan perseroan sedangkan perwakilan adalah berkaitan dengan tugas mewakili perseroan dalam berinteraksi dengan pihak ketiga maupun mewakili diluar dan di dalam perusahaan.
Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab harus menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Direksi dapat digugat secara pribadi ke Pengadilan Negeri jika perseroan mengalami kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya Begitu juga dalam kepailitan yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutupkerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi bertanggung jawab secara renteng atas kerugian tersebut.[11]
Prinsip managemen perseroan yang baik yang telah diakomodasi dalam ketentuan undang-undang Perseeoan Terbatas masih harus dijabarkan secara detail dan dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Ketentuan dalam Undang-undang tersebut hanya menjelaskan tanggung jawab Direksi secara umum berdasarkan hubungan kepercayaan (fiduciary of relationship) antara Direksi dan perseroan. Jika diperjelas hubungan tersebut mengandung tiga faktor penting yaitu:
1)      Prinsip kehati-hatian dalam bertindak (duty of skill and care).
2)      Prinsip itikad baik untuk bertindak semata-mata demi kepentingan dan tanggung jawab perseroan (duty of loyalty).
3)      Prinsip tidak mengambil keuntungan pribadi atas suatu kesempatan yang sebenarnya milik atau diperuntukkan bagi perseroan (no secret profit rule doctrine of corporate opportunity).
Menentukan keadaan Direksi dianggap melanggar prinsip tersebut secara detail merupakan hal yang tidak mudah. Berdasarkan prinsip tersebut di atas Direksi dapat menggunakan konsep yang dikenal sebagai the business judgement rule, yang merupakan suatu prinsip yang memberikan perlindungan bagi direksi atas dakwaan pelanggaran ketiga prinsip tersebut. Dengan menggunakan prinsip the business judgement rule Direksi dapat dibebaskan dari tanggungjawab secara pribadi, sekalipun tindakannya merugikan perseroan, asalkan tindakannya dilakukan sebagai keputusan bisnis yang dibuat berdasarkan itikad baik semata-mata untuk kepentingan perusahaan. Hal ini sesuai dengan Pasal 97 ayat (5) UU PT sebagai berikut, bahwa anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi atas kerugian yang dimaksud pada ayat (3) jika dapat membuktikan:
1)      bahwa kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
2)      telah melakukan pengurusan dengan itkad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
3)      tidak mempunyai bentuan kepentingan baik langsung maupun tidaj langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
4)      telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Demikian juga tanggung jawab Direksi dalam hal terjadi kepailitan adalah sama dengan tanggung jawab Direksi yang perusahaannya tidak mengalami kepailitan. Prinsipnya Direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya untuk dan atas nama perusahaan berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Hal ini karena perbuatan Direksi dipandang sebagai perbuatan Perseroan Terbatas yang merupakan subyek hukum mandiri sehingga perseroan yang bertanggung jawab terhadap perbuatan perseroan sendiri yang dalam hal ini dipresentasikan oleh direksi. Namun dalam beberapa hal direksi dapat pula dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi dalam kepailitan Perseroan Terbatas ini. Pasal 104 ayat (2) UUPT menyebutkan Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kelalaian atau kesalahan Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut setiap anggota direksi secara tanggungrenteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang terlunasi dari harta pailit tersebut. Bukan hal yang mudah untuk membuktikan bahwa direksi telah melakukan kesalahan/kelalaian sehingga menyebabkan suatu perseroan mengalami kebangkrutan yang berujung pada kepailitan.
Mengenai tanggung jawab Direksi yang perseoannya mengalami kepailitan, Munir Fuady menyatakan bahwa apabila suatu perseroan pailit, maka sekonyong-konyong (tidak demi hukum) pihak Direksi harus bertanggung jawab secara pribadi. Agar dapat dimintakan pertanggung jawaban pribadi ketika perusahaan pailit harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)      Terdapatnya unsur kesalahan (kesengajaan) atau kelalaian dari Direksi (dengan pembuktian biasa);
2)      Untuk membayar utang dan ongkos-ongkos kepailitan haruslah diambil terlebih dahulu dari aset-aset perseroan. Bila aset tidak mencukupi barulah diambil aset pribadi Direksi;
3)      Diberlakukan pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) bagi anggota direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan perseroan bukan karena kesalahan (kesengajaan) atau kelaliaianya.[12]
Permasalahan berikutnya mengenai tanggung jawab adalah mekanisme permintaan pertanggung jawaban direksi yang karena kesalahannya atau karena kelalaiannya menyebabkan perseroan tersebut pailit. Apakah secara mutatis mutandis berlaku terhadap Direksi, dimana Kurator langsung meminta pertanggungjawaban pribadi terhadap Direksi atau diperlukan suatu acara gugatan di pengadilan? Undang-undang Kepailitan tidak mengatur hal ini demikian juga dengan Undang-undang Perseroan Terbatas. M Hadi Subhan berpendapat bahwa Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) bisa dijadikan alternative untuk meminta pertanggung jawaban Direksi yang telah melakukan kesalahan sehingga mengakibatkan kerudian pihak ketiga.
Selain pertanggung jawaban perdata (civil liability) Direksi dapat juga dikenakan pertanggung jawaban pidana (criminal liability) dalam kepailitan perseroan terbatas ini. Ketentuan pidana ini berkait dengan tindakan organ perseroan tersebut dinyatakan pailit dan juga berkait dengan terjadinya pailit Perseroan Terbatas. Ketentuan pertanggung jawaban pidana terhadap Direksi diatur dalam Pasal 398 dan 399 KUHP. Pasal 398 KUHP mengatur, bahwa
Seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau yang penyelesaianya oleh pengadilan yang telah diperintahkan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.
1)      Bila yang bersangkutan turut membantu atau mengijinkan untuk melakukan perbuatan perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, yang menyebabkan seluruh atau sebagian besar dari kerugian yang diderita oleh perseroan maskapai atau perkumpulan.
2)      Bila yang bersangkutan dengan maksud untuk menangguhkan atau penyelesaian perseroan, maskapai atau perkumpulan, turut membantu atau mengijinkan pinjaman uang dengan syarat-syarat yang memberatkan padahal ia tahu bahwa kepailitan atau penyelesaiannya tidak dapat dicegah lagi.
3)      Bila yang bersangkutan dapat dipersalahkan tidak memenuhi kewajiban tersebut seperti dalam Pasal 6 alinea pertama KUHD dan Pasal 27 ayat (1) ordonansi tentang maskapai andil Indonesia atau bahwa buku-buku dan surat-surat yang memuat catatan-catatan dan tulisan-tulisan yang disimpan menurut pasal tadi tidak dapat diperlihatkannya dalam keadaan tidak diubah.
Berdasarkan Pasal 399 KUHP, bahwa Pengurus atau komisionaris perseroan terbatas, maskapai Andil Indonesia atau perkumpulan koperasi yang dinyatakan pailit atau yang penyelesaianya oleh pengadilan telah diperintahkan diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun bila yang bersangkutan mengurangi secara curang hak-hak pemiutangan pada perseroan.
Maskapai atau perkumpulan untuk :
1)      Membuat pengeluaran yang tidak ada atau tudak membukukan pendapatan atau menarik barang sesuatu dari boedel;
2)      Telah memindahtangankan barang sesuatu dengan Cuma-Cuma atau jelas dibawah harganya;
3)      Dengan sesuatu cara menguntungkan salah seorang pemiutang pada wktu kepailitan atau penyelesaian atau apapun pada saat dia tahu bahwa kepailitan atau penyelesaiaan tadi tidak dapat dicegah lagi.
4)      Tidak memenuhi kewajibannya untuk membuat catatan penurut Pasal 6 alinea pertama KUHD aatu Pasal 27 (1) ordonansi tentang maskapai andil Indonesia dan tentang menyimpan dan memperlihatkan buku-buku, surat-surat, dan tulisan-tulisan menurut pasal-pasal itu.
Berdasarkan ketentuan kedua pasal, yaitu Pasal 398 dan Pasal 399 tersebut dapat disimpulkan bahwa anggota Direksi maupun Komisaris Perseroan Terbatas dapat dituntut secara pidana apabila mereka telah menyebabkan kerugian para kreditur Perseroan Terbatas dan dapat dikenakan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan apabila mereka turut serta dalam memberi persetujuan atas perbuatan-perbuatan yang melanggar anggaran dasar Prseroan Terbatas dan perbuatan tersebut kerugian berat sehingga Perseroan Terbatas jatuh pailit atau turut serta dalam atau memberi persetujuan atas pinjaman dengan persyaratan yang memberatkan dengan maksud menunda kepailitan Perseroan Terbatas atau lalai dalam mengadakan pembukuan sebagaimana diwajibkan dalam UUPT dan anggaran dasar Perseroan Terbatas. Selanjutnya baik direksi maupun komisaris Perseroan Terbatas yang telah dinyatakan pailit dapat dituntut secara pidana dan dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun bila merekayasa pengeluaran / utang dengan maksud mengurangi secara curang hak-hak para kreditur Perseroan Terbatas atau mengalihkan kekayaan Perseroan Terbatas dengan Cuma-Cuma atau dengan harga jauh dibawah kewajaran.

C.     Tanggung jawab Komisaris.
Dewan komisaris adalah organ yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasehat kepada direksi dalammenjalankan pengurusan perseroan. Dalam menjalankan tugasnya dewan komisaris berwenang untuk memasuki kantor perseroan, mendapatkan laporan direksi, memeriksa dokumen perseroan, menyetujui atau tidak menyetujui suatu tindakan tertentu dari Direksi yang diatur dalam anggaran dasar, serta memberhentikan sementara direksi dan pengurus perseroan jika perseroan tidak memiliki Direksi.
Berbeda dengan anggota Direksi, Dewan Komisaris bertindak sebagai majelis, Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri mewakili Direksi. Komisaris wajib bertindak dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Pemegang saham, atas nama perseroan jika mempunyai paling sedikit 1/10 bagian dari seluruh jumlah saham dengan hak suara yang sah dapat melakukan tuntutan kepada Komisaris yang karena kesalahan dan kelalaiannya menimbulkan kerugian perseoan. Dewan Komisaris merupakan organ perseroan yang melakukan pengawasan atas kebijaksanaan kepengurusan dan tindakan pengurusan oleh direksi, fungsi tersebut dewan Komisaris berkewajiban memberikan nasehat kepada Direksi. Dalam kepustakaan dikatakan bahwa pengawasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh atasan untuk melakukan penilaian terhadap hasil kerjaan bawahan apakah sesuai dengan suatu pedoman atau kebijaksanaan yang ditetapkan sebelumnya.[13] Dengan demikian titik berat dari tugas Dewan Komisaris adalah mengawasi pengurusan yang dijalankan oleh Direksi, menurut UU PT, Dewan Komisaris memiliki dua wewenang yang bersifat preventif untuk mengantisipasi kesalahan dalam mengambil keputusan perseroan dan wewenang yang bersifat represif untuk mengambil tindakan setelah perseroan melakukan kesalahan.
Berdasarkan Pasal 114 Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan demikian:
1)      Dewan Komisaris bertanggungjawab atas pengawasan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1).
2)      Setiap angota Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian dan bertanggungjawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasehat kepada Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
3)      Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggungjawab secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
4)      Dalam hal Dewan Komisaris terdiri atas dua anggota Dewan Komisaris atau lebih tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat(3) berlaku secara renteng bagi setiap anggota Dewan Komisaris.
5)      Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a.       telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
b.      tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan Direksi yang mengakibatkan kerugian; dan
c.       telah memberikan nasehat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut
6)      Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh pemegang saham dengan hak suara dapat mengugat anggota Dewan Komisaris yang kareana kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan ke Pengadilan Negeri
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas jelas bahwa jika komisaris lalai dalam menjalankan kewajibannya yakni tidak dengan itikad baik dan bertanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan perusahaan, maka Komisaris harus bertanggung jawab secara hukum. Jika Komisaris bersalah maka seluruh anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara renteng. Berdasarkan Pasal 115 UU PT, bahwa tanggung jawab Dewan Komisaris dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian dewan Komisaris dalam melakukan tugas pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi.
Dalam UUPT dimungkinkan juga bagi Komisaris untuk tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas kerugian perseroan, jika dapat membuktikan bahwa: telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; tidak memiliki kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan oleh Direksi yang mengakibatkan kepailitan; dan telah memberikan nasehat kepada direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan. Selain ancaman ganti rugi seperti halnya Direksi, Dewan Komisaris juga dapat terkena ancaman pidana seperti yang terdapat dalam Pasal 397 dan Pasal 398 KUHP.


[1] M.Hadi Subhan, 2008, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, edisi pertama, cet.ke-1, Prenada Media Group, Jakarta, hal.198
[2] Ibid, h.199
[3] Ibid, h.202
[4] Ibid, h.205
[5] Sayudi Aria, dkk, 2004 “Kepailitan Dinegeri Pailit”, cetakan kedua,  Pusat Studi Hukum & kebijakan Indonesia dicetak oleh Dimensi,  Jakarta,  h.76
[6] Ibid, hal.148
[7] Munir Fuady, 2002“Hukum Pailit 1998”, cetakan kedua, Bandung, hal. 65
[8] M. Hadi Subhan, Op.Cit.hal.209
[9] Ibid
[10] Rudhi Prasetya, 2001, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai dengan Ulasan menurut UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Citra Adiyta Bakti, Bandung, h.197
[11] Wicaksana, Satria F., 2009, Tanggung jawab Pemegang Saham, Direksi, & Komisaris Perseroan Terbatas (PT). Jakarta, h.119
[12] Munir Fuady, 2002, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek (Buku ke-1) Citra Aditya Bakti, Bandung, h.26
[13] Moenaf H.Regar, 2000, Dewan Komisaris Peranannya Sebagai Organ Perseroan, Bumi Aksara, Jakarta, h.64

1 komentar:

  1. titanium pen - TITanium-ART - TITanium-ART
    This is a steel model with an attractive design, and a high design titanium white fennec that race tech titanium offers a smooth and durable cartridge. micro titanium trim The 2019 ford edge titanium for sale Titanium-ART cartridge has a thickness $69.99 · ‎In babyliss pro titanium stock

    BalasHapus