Laman

Jumat, 12 September 2014

PERKAWINAN DI INDONESIA


BAB I. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
      Hubungan seorang pria dengan seorang wanita dalam ikatan perkawinan merupakan salah satu hubungan manusia yang bersifat individual. Yang pada dasarnya hubungan individual tersebut maupun hubungan yang bersifat kolektif sama-sama dilahirkan dari interaksi manusia dalam masyarakat. Sudah menjadi kodrat alam, sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Dan pada suatu masa tertentu bagi seorang pria maupun seorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan manusia lain, yang berlainan jenis kelaminnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani.
            Hidup bersama antara seorang pria dan wanita tersebut mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap keturunannya serta anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu timbulah peraturan-peraturan yang mengatur tentang hidup bersama tersebut.
Perkawinan dalam hukum perdata adalah suatu perikatan atau perjanjian. Dimana di dalam perjanjian biasa, para pihak bebas untuk menentukan isi dari perjanjian yang dibuat oleh mereka yang bersangkutan sendiri dengan catatan tidak bertentangan dengan Perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian yang telah dibuat oleh mereka maka akan berlaku aturan-aturan bagi para pihak yang membuat perjanjian. Tetapi tidaklah demikian dalam hal perjanjian berupa suatu perkawinan, walaupun suatu perkawinan itu adalah suatu perjanjian namun sejak semula telah ditentukan oleh hukum yang berisi ketentuan-ketentuan tentang perkawinan.[1]


            Di dalam KUHPerdata tidak ditemukan sebuah definisi tentang perkawinan, akan tetapi sesuai dengan pendapat Scholten menyatakan bahwa:
“Perkawinan ialah suatu persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk bersama/bersekutu yang kekal”.
            Sementara ada bermacam-macam pendapat yang dikemukakan orang mengenai pengertian perkawinan. Perbedaan diantara pendapat itu tidak memperlihatkan adanya pertentangan yang sungguh-sungguh antara satu pendapat dengan pendapat yang lain, tetapi lebih memperlihatkan keinginan setiap perumus, mengenai banyak jumlah unsur-unsur yang hendak dimasukan dalam perumusan pengertian perkawinan di satu pihak, sedang di pihak lain dibatasi pemasukan unsur-unsur itu dalam perumusan pengertian perkawinan.[2]
            Dalam kenyataannya, terdapat berbagai kasus perkawinan yang banyak tercapai secara tidak utuh. Tercapainya itu baru mengenai pembentukan keluarga atau pembentukan rumah tangga, karena dapat diukur secara kuantitatif. Sedangkan predikat bahagia dan kekal belum, bahkan tidak tercapai sama sekali. Karena untuk memelihara kelestarian serta kesinambungan   hidup   dalam   rumah   tangga bukanlah  merupakan   suatu perkara   yang  mudah   untuk   dilaksanakan.   Faktor-faktor   psikologis,   biologis, ekonomis,   perbedaan  pandangan   hidup,   dan   lain-lain  dalam  kehidupan   rumah tangga dapat  menimbulkan   ketidakharmonisan   serta   dapat  mengancam  sendi- sendi  kehidupan berumah  tangga.  Pada akhirnya gagal  melanjutkan kehidupan rumah tangga dan terjadi perceraian.
    
1.2  Rumusan Masalah
1.      Apakah arti, tujuan dan syarat-syarat perkawinan?
2.      Bagaimana sahnya suatu perkawinan dan apa hak kewajiban suami-istri ?
3.      Bagaimanakah putusnya perkawinan ?

1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.      Tujuan Obyektif
a.       Untuk mengetahui arti, tujuan dan syarat-syarat perkawinan.
b.      Untuk mengetahui bagaimana sahnya perkawinan dan hak kewajiban suami-isteri yang timbul akibat adanya suatu pekawinan.
c.       Untuk mengetahui arti dan sebab-sebab terjadinya putusnya perkawinan.
2.      Tujuan Subyektif
a.       Untuk menyelesaikan salah satu tugas Hukum Perdata.
b.      Untuk menambah pengetahuan dan wawasan serta masukan pemikiran dalam khasanah ilmu hukum terutama aturan-aturan yang ada dalam hukum Perkawinan yang dapat bermanfaat di kemudian hari.

BAB II. PEMBAHASAN

2.1  Arti, Tujuan, dan Syarat-syarat Perkawinan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan keperdataan. Disana diartikan bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan.[3] Jadi perkawinan itu ditinjau sebagai suatu lembaga hukum dan tidak bergantung pada pandangan-pandangan keagamaan calon suami istri. Dimana seorang laki-laki dan wanita melakukan suatu perbuatan hukum yang dilakukan pada suatu saat tertentu dan terikat dalam hubungan perkawinan.
Perkawinan di Indonesia juga diatur dalam Pasal 1 Undang-undang No.1 tahun 1974 yg berbunyi: 
“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.    

      Dengan “ikatan lahir bathin” dimaksudkan bahwa perkawinan itu tidak hanya cukup dengan adanya ikatan lahir atau ikatan bathin saja, tapi harus kedua-duanya. Suatu ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat. Mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama, sebagai suami istri, dengan kata lain dapat disebut hubungan formil.[4] Hubungan formil ini nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya, maupun bagi orang lain atau masyarakat.
      Sebaliknya, suatu ikatan bathin adalah merupakan hubungan yang tidak formil, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat. Walau tidak nyata, tapi ikatan itu harus ada. Karena tanpa adanya ikatan bathin, ikatan lahir akan menjadi rapuh. Hal ini seharusnya dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan. Dalam tarap permulaan untuk mengadakan perkawinan, ikatan bathin ini diawali oleh adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama.
      Selanjutnya dalam hidup bersama itu, tercermin dari adanya kerukunan. Seterusnya ikatan bathin akan merupakan inti ikatan lahir. Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan bathin, merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.
Sedangkan mengenai tujuan perkawinan pada dasarnya setiap perkawinan dalam membentuk suatu keluarga (rumah tangga) mempunyai tujuan yaitu untuk selalu hidup bersama sampai selama-lamanya dibawah ikatan perkawinan. Secara jelas tujuan perkawinan menurut KUHPerdata dirumuskan oleh ilmu hukum, ialah perkawinan merupakan suatu persekutuan atau perikatan antara seorang pria dengan seorang wanita yang diakui sah oleh peraturan Negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan kesatuan hidup yang abadi. Sedangkan tujuan perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tersirat dalam Pasal 1 yang dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan itu adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Jadi pada asasnya perkawinan itu bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.
Ini berarti bahwa perkawinan itu: (1) berlangsung seumur hidup, (2) cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan (3) suami-isteri membantu untuk mengembangkan diri. Suatu keluarga dapat dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok yaitu kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Yang termasuk kebutuhan jasmani seperti seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan yang termasuk kebutuhan rohani seperti anak yang lahir dalam ikatan perkawinan yang sah (anak kandung). Apabila dalam sebuah perkawinan terjadi perceraian maka perceraian merupakan suatu pengecualian yang sedapat mungkin harus dihindarkan terhadap asas perkawinan tersebut dan terpaksa harus dimungkinkan karena perkawinan tersebut tidak dapat memenuhi fungsinya lagi yaitu dengan membawa kebahagiaan lahir dan bathin.
Dan mengenai syarat-syarat perkawinan, seseorang yang akan melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat–syarat yang ditentukan Undang–undang. Berhubung syarat–syarat perkawinan telah diatur dalaUndang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975, maka syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam ketentuan perundang–undangan lama dinyatakan tidak berlaku. Perkawinan yang akan dilangsungkan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasannya maksud dari ketentuan tersebut, agar suami dan isteri yang akan kawin itu kelak dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan Hak Asasi Manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.[5] Adapun syarat–syarat yang diatur di dalam Pasal 6 Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut :
  1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai ;
  2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua ;
  3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya ;
  4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya ;
  5. Dalam hal ada perbedaan pendapat–pendapat antara orang–orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan izin setelah lebih dahulu mendengar orang–orang tersebut dalam ayat (2), (3) , dan (4) ;
  6. ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan (5), berlaku sepanjang hukum masing–masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.[6]

Disamping itu Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga mengatur tentang persyaratan umur minimal bagi calon suami dan calon isteri serta beberapa alternatif lain untuk mendapatkan jalan keluar apabila ketentuan umur minimal tersebut belum terpenuhi. Dalam hal ini Pasal 7 Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur sebagai berikut :
  1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun ;
  2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) Pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain untuk ditunjuk oleh kedua orang tua pria maupun pihak wanita ;
  3. Ketentuan–ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang–Undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).[7]

2.2  Sahnya Perkawinan dan Hak Kewajiban Suami-Isteri
Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku kala perkawinan itu dilaksanakan tidak menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berarti tidak sah menurut perundangan, kalau tidak menurut hukum agama berarti tidak sah menurut agama, begitu pula kalau tidak menurut tata tertib hukum adat tidak sah menurut hukum adat. Sahnya suatu perkawinan telah diatur dalam Pasal 2 Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan sebagai berikut :
  1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing–masing agamanya dan kepercayaannya ;
  2. Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang–undangan yang berlaku.

Lebih lanjut dalam penjelasannya disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing–masing agama dan kepercayaannya itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang–Undang Dasar 1945 yang berbunyi :
  1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa ;
  2. Negara menjamin kemerdekaan tiap–tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing–masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.

Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jelas terlihat bahwa Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaannya masing–masing pemeluknya. Setelah perkawinan dilangsungkan menurut tata cara masing–masing agama dan kepercayaannya, maka kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat perkawinan.[8] Dengan adanya akta perkawinan, maka suami isteri yang bersangkutan mempunyai alat bukti yang sah berdasarkan peraturan perundang–undangan yang berlaku. Jadi suatu perkawinan itu sah menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975 adalah semenjak perkawinan itu didaftarkan. Perkawinan yang dilakukan hanya dihadapan pegawai pencatatan sipil adalah sah menurut perundang-udangan sebelum berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. artinya sah menurut KUH Perdata yang hanya berlaku bagi golongan Timur Asing Cina. Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan tersebut tidak sah menurut perundang–undangan yang berlaku, oleh karena tidak dilaksanakan menurut tata tertib hukum agama, perkawinan itu tidak sah dan keturunannya disebut dengan istilah adat anak “haram jadah.
Apabila perkawinan telah berlangsung dan sah memenuhi syarat-syarat suatu perkawinan, maka akan menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, akan menimbulkan pula hak dan kewajibannya selaku suami istri dalam keluarga. Maka Undang-undang Perkawinan mengatur hal tersebut dengan merumuskan hubungan tersebut dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 :
Pasal 30
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.

Pasal 31
(1)    Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2)    Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3)    Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.

Pasal 32
(1)   Suami istri harus memiliki tempat kediaman yang tetap.
(2)   Rumah kediaman yang di maksud dalam ayat (1) pasal ini di tentukan oleh suami istri bersama.

Pasal 33
Suami istri wajib cinta mencintai,hormat menhormati,setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34
(1)   Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2)   Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
(3)   jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan pada pengadilan.

Antara suami dan istri diberikan hak dan kedudukan yang seimbang baik dalam kehidupan rumah tangga maupun pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Adanya hak dan kedudukan yang seimbang ini dibarengi dengan suatu kewajiban yang sama pula untuk membina dan menegakan rumah tangga yang diharapkan akan menjadi dasar dari susunan masyarakat. Dalam pembinaan rumah tangga itu, diperlukan saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan member bantuan lahir-bathin.
Suatu rumah tangga yang dibina, haruslah mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang untuk itu haruslah ditentukan secara bersama. Persamaan yang lain adalah dalam hal melakukan perbuatan hukum. Suami dan istri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Umpamanya seorang istri dapat saja mengadakan perjanjian, jual beli dan lain-lain perbuatan hukum sendiri tanpa memerlukan bantuan atau pendampingan dari suaminya. Bahkan diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan gugatan kepada Pengadilan apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya.
Berdasarkan kodrat dan untuk pembagian kerja, maka antara suami dan istri diberikan perbedaan. Suami dibebani kewajiban untuk melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dinyatakan dengan tegas, bahwa suami adalah kepala keluarga sedangkan istri adalah ibu rumah tangga. Istri sebagai ibu rumah tangga, tentulah harus mengatur urusan rumah tangga itu dengan sebaik-bbaiknya.
2.3  Putusnya Perkawinan
Setiap manusia pasti mencita-citakan agar perkawinannya dapat berlangsung kekal abadi selama-lamanya dan tidak menghendaki terputus ditegah jalan. Tetapi ada kalanya, suatu perkawinan oleh sebab-sebab tertentu dapat mengakibatkan tidak dapat diteruskan jadi harus diputuskan ditengah jalan atau terpaksa putus dengan sendirinya. Sebab-sebab tersebut sangatlah banyak terjadi di kehidupan manusia. Yang diartikan putusnya perkawinan adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami-isteri, yang disebabkan oleh beberapa hal.[9] Suatu perceraian dapat bubar oleh sebab:
1)      Karena kematian salah satu pihak.
Putusnya perkawinan karena meninggalnya salah satu pihak.
2)      Karena keadaan tidak hadir, maka harus memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu:
a.       Salah satu pihak meninggalkan tempat tinggal dengan sengaja selama 10 tahun dan tidak pernah mengirim kabar sedikitpun juga
b.      Harus ada izin dari Pengadilan Negeri dari tempat kediaman bersama dengan melakukan panggilan umum kepada salah satu pihak yang meninggalkan tempat tinggalnya selama 3 kali berturut-turut yaitu setiap 3 bulan sekali
c.       Jika atas pemanggilan tersebut tetap tidak ada kabar, maka Pengadilan memberi izin menikah kepada salah satu pihak untuk melaksanakan perkawinan baru.
d.      Bila salah satu pihak yang tidak hadir, muncul sebelum perkawinan baru dilaksanakan, maka putusan Hakim yang telah diberikan itu batal.
e.       Namun bila si tak hadir tersebut muncul setelah perkawinan dilangsungkan maka si tak hadir dapat hadir dan dapat kawin lagi dengan orang lain.
3)      Karena putusnya pengadilan setelah berlangsung perpisahan meja dan tempat tidur
Atas dasar agama dan keinsyafan kedua suami istri sendiri keberatan akan perceraian dapat meminta perpisahan meja dan tempat tidur ke pengadilan apabila mereka setidak 2 tahun menikah dan diajukan dalam bentuk otentik. Apabila perpisahan meja berlangsung 5 tahun dantidak melaksanakan perdamaian, maka salah satu pihak dapat memohon perceraian kepada Hakim.
4)      Karena perceraian
Sebuah perkawinan hapus bukan saja karena satu pihak meninggal tetapi perkawinan hapus karena perceraian. Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan Hakim, atau tuntutan dari salah satu pihak dalam perkawinan. Berdasarkan alasan-alasan :
·         Karena perzinahan (overspel)
·         Karena ditinggalkan dengan sengaja
·         Karena salah satu pihak di hokum penjara lebih dari 5 tahun
·         Karena penganiayaan oleh satu pihak yang membahayakan pihak lain.
Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maupun PP No. 9 Tahun 1975, pengertian daripada perceraian tidak dijelaskan. Peraturan Perundang-undangan hanya memuat tentang alasan perceraian, tata cara perceraian, dan akibat perceraian. Dicantumkan dalam Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975, alasan-alasan perceraiannya sebagian sama dengan KUHPerdata hanya ditambah dengan:
1)      Karena salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
2)      Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Alasan-alasan perceraian sifatnya limitatif artinya tidak ada alasan lain yang dapat dipergunakan untuk bercerai selain yang disebut Undang-undang. Berdasarkan Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975, jelaslah bahwa putusnya perkawinan merupakan suatu pengecualian dari perkawinan yang kekal dan abadi.
Dari ketentuan-ketentuan tentang perceraian dalam Undang-undang perkawinan, dapat disimpulkan ada dua macam perceraian :
1)      Cerai Talak
Adalah perceraian yang berlaku bagi mereka yang beragama islam. Talak termasuk wewenang Pengadilan Agama dan paling banyak dilakukan di Indonesia. Pengertian talak adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh suami berupa menolak berlangsungnya perkawinan.[10]
Tata cara talak diatur dalam Pasal 14 sampai dengan 18 PP No.9 Tahun 1975 dengan prosedur sebagai berikut:
a.       Suami mengajukan permohonan izin talak ke Pengadilan di wilayah tempat tinggal suami dalam bentuk tertulis dan disertai dengan alasan-alasan perceraian.
b.      Pengadilan dalam waktu 30 hari setelah menerima permohonan izin talak memanggil para pihak untuk bersidang. Mula-mula harus diawali upaya perdamaian ole hakim, jika tidak berhasil maka dilakukan pemeriksaan alasan-alasan cerai untuk menyelesaikan perceraian.
c.       Setelah dilakuakn acara persidangan, Ketua Pengadilan akan memberikan satu surat keterangan tentang terjadinya perceraian dan surat keterangan tersebut dikirimkan ke pegawai pencatatan bahwa telah perceraian.

2)      Cerai Gugat
Cerai gugat dapat diajukan oleh pihak suami ataupun pihak istri, jadi berbeda dengan talak dimana hanya pihak suami yang dapat melakukan. Cerai gugat diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 PP No. 9 Tahun 1975 dan termasuk wewenang absolut dari Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Adapun prosedur untuk mengajukan gugatan cerai, adalah sebagai berikut :
a.       Suami atau istri ataupun kuasanya masing-masing mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan di daerah hokum tergugat domisili, jika domisili tergugat tidak jelas maka gugatan diajukan ke Pengadilan di daerah hokum Penggugat berdomisili.
b.      Apabila tergugat berdomisili di luar negeri maka gugatan diajukan ke pengadilan dimana penggugat berdomisili, kemudian Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan ke Perwakilan Republik Indonesia, ditujukan kepada tergugat.
c.       Sebelum Hakim memeriksa perkara, maka ia berupaya mendamaikan kedua pihak. Jika upaya damai gagal maka dilakukan pemeriksaan perkara dalam sidang tertutup.
d.      Apabila putusan cerai telah didaftarkan di Kantor Catatan Sipil oleh pegawai pencatat, maka perceraian telah terjadi.



BAB.III PENUTUP

2.1  Kesimpulan
Ikatan perkawinan lahir karena adanya naluri dan interaksi antar manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani. Ikatan perkawinan bukan saja ikatan perdata tetapi ikatan lahir batin antara seorang suami dengan seorang isteri. Dan perkawinan tidak lagi hanya sebagai hubungan jasmani tetapi juga merupakan hubungan batin. Hubungan ini dieksplisitkan dengan tujuan sebuah perkawinan yakni untuk membangun sebuah keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sahnya perkawinan apabila perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan syarat-syarat suatu perkawinan. Syarat-syarat perkawinan di adakan agar setiap pihak yang melaksanakan perkawinan telah benar-benar cakap dalam melaksanakan kehidupan rumah tangga dan untuk membatasi pihak-pihak yang telah boleh melangsungkan perkawinan dan yang belum sehingga tercipta ketertiban.
Ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun dalam KUHPerdata telah ada pengaturan perkawinan, tetapi disana tidak dengan jelas diatur ketentuan agamanya dan permasalahan hukum terutama perkawinan semakin kompleks di masyarakat dewasa ini.
Selanjutnya setelah perkawinan berlangsung, kedua pihak kedudukannya akan berubah. Pihak pria menjadi kepala keluarga dan pihak wanita sebagai ibu rumah tangga.  Pada saat itulah timbul hak dan kewajiban masing-masing. Akan tetapi dalam kenyataanya suatu waktu dapat terjadi putusnya hubungan perkawinan tersebut, baik tidak sengaja maupun sengaja dilakukan karena suatu sebab yang mengganggu berlanjutnya hubungan itu.

2.2  Saran
·         Setelah membahas tentang hukum perkawinan Indonesia tadi baik dari segi UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KUHPerdata diharapkan pembaca mampu memahami, menganalisis dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat khususnya yang menyangkut hukum perkawinan secara berkesinambungan dan konsisten berdasarkan cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila.
·         Serta untuk pembuat peraturan perlu diperjelas dan direvisi peraturan dalam KUHPerdata karena di dalam Pasal 81 KUHPerdata menegaskan bahwa tidak boleh melangsungkan upacara keagamaan sebelum perkawinan menurut kantor Catatan Sipil selesai, hal ini berarti bahwa peraturan-peraturan menurut hukum agama tidaklah penting selama tidak diatur dalam Hukum Perdata, serta KUHPerdata tidak memberikan definisi dan tujuan yang jelas tentang perkawinan.
·         Dan terhadap pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan hendaknya mempersiapkan diri dengan baik, mengetahui dan memahami ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan dan timbul sebelum dan sesudah perkawinan itu berlangsung.




[1] Soedaryo Soimin, 1992, Hukum Orang dan Hukum Keluarga. Cet. 1, Sinar Grafika, Jakarta, h.5
[2] Sayuti Thalib, 1986, Hukum Kekeluargaan Indonesia. Cet. V, UI-Press, Jakarta, h. 47
[3] Prof.Subekti, S.H., 1989, Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet.XXII, Intermasa, Jakarta,  h.23
[4] K. Wantjik Saleh, S.H., 1980, Hukum Perkawinan Indonesia. Cet. VI, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.14
[5] Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, h.42
[6] Sudarsono, 2005, Hukum Perkawinan Nasional, PT. Rineka Cipta, Jakarta, h.40 – 41
[7] Ibid, h.41-42
[8] Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, h.88
[9] Salim HS, S.H., M.S., 2001, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta, h.61
[10] R. Wiryono Prodjodikoro, 1974, Hukum Perkawinan Indonesia. Sumur Bandung, Jakarta, h.35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar