Dalam pasal 18 UUD 1945, dikatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia ataas dasar daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengabn memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Oleh karena itu Indonesia dibagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yang bersifat otonom yang pengaturanya dilakukan dengan Undang-undang.
Peraturan perundangan yang pertama yang
mengatur otonomi daerah di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945.
Undang-Undang ini dibuat dalam keadaan darurat, sehingga sehingga hanya
mengatur hal-hal yang bersita darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnyapun
hanya terdiri dari 6 (enam ) pasal saja dan sama sekali tidak memiliki
penjelasan. Penjelasan kemudian dibuat oleh Menteri Dalam Negeri dan tentang
penyerahan urusan kedaerah tidak ada penjelasdan secara eksplisit.
Dalam undang-undang ini menetapkan tiga
jenis daerah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten dan kota berotonomi. Pada
pelaksanaannya wilayah Negara dibagi kedalam delapan propinsi berdasarkan
penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus
1945. Propinsi-propinsi ini diarahkan untuk berbentuk administrative belaka,
tanpa otonomi. Dalam perkembangannya khususnya, Propinsi Sumatera, propinsi
berubah menjadi daerah otonom. Di propinsi ini kemudian dibentuk Dewan
Perwakilan Sumatera atas dasar Ketetapan Gubernur Nomor 102 tanggal 17 Mei
1946, dikukuhkan dengan PP Nomor 8 Tahun 1947. Peraturan yang terakhir
menetapkan Propinsi Sumatera sebagai Daerah Otonom.
Dari uraian diatas maka tidak dapat
dilihat secara jelas system rumah tangga apa yang dianut oleh Undang-undang
ini.
2. Undang-Undang Pokok tantang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1948.
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 15 April 1948.
Dalam UU dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni :
a. Propinsi
b. Kabupaten/ Kota Besar
c. Desa/ Kota Kecil, negeri, marga dan
sebagainya a s/d c tyang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
(Soejito;1976)
Dalam
undang-undang ini tidak dinyatakan mengenai sistem rumah tangga yang dianutnya.
Oleh karena itu untuk mengetahui sistem mana yang dianutnya, kita harus
memperhatikan pasal-pasal yang dimuatnya. Terutama yang mengatur batas-batas
rumah tangga daerah.
Ketentuan yang mengatur hal ini terutama terdapat pada pasal 23 yang terdiri dari 2 ayatsebagi berikut
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
mengatur dan mengurus rumah tangganya daerahnya.
2. Hal-hal yang masuk urusan rumah
tangga tersebut dalam ayat 1 ditetapkan dalam undang-undang pembentukan bagi
tiap-tiap daerah. (Sujamto;1990)
Dari kedua pasal diatas terlihat bahwa
luas daripada urusan rumah tangga atau kewenangan daerah dibatasi dalam
undang-undang pembentukannya. Daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengatur
atau mengurus urusan-urusan diluar yang telah termasuk dalam daftar urusan yang
tersebut dalam UU pembentukannya kecuali apabila urusan tersebut telah
diserahkan kemudian dengan UU.
Dari uraian di atas terlihat bahwa UU ini
menganut sistem atau ajaran materiil. Sebagai mana dikatakan Nugroho (2001)
bahwa peraturan ini menganut menganut otonomi material., yakni dengan mengatur
bahwa pemerintah pusat menentukan kewajiban apasaja yang diserahkan kepada
daerah. Artinya setiap daerah otonom dirinci kewenangan yang diserahkan, diluar
itu merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Hanya saja system ini ternyata tidak
dianut secara konsekwen karena dalam UU tersebut ditemukan pula ketentuan dalam
pasal 28 ayat 4 yang berbunyi: “Peraturan daerah tidak berlaku lagi jika
hal-hal yang diatur didalamnyakemudian diatur dalam Undang-Undang atau dalam
Peraturan pemerintah atau dalam teraturan Daerah yang lebih tinggi
tingkatannya”. (Sujamto;1990)
Ketentuan ini terlihat jelas membawa ciri
system rumah tangga formil bahwa. Jadi pada dasarnya UU ini menganut dua sistem
rumah tangga yaitu formil dan materil. Hanya saja karena sifat-sifat sistem
materiil lebih menonjol maka banyak yang beranggapan UU ini menganut system
Materil.
Perlu dicatat bahwa pada 27 Desember 1949
RI menandatangani Konferensi Meja Bundar, dimana RI hanya sebagai Negara bagian
dari Republik Indonesia Serikat yang wilayahnya hanya meliputi Jawa, Madura,
Sumatera ( minus Sumatera Timur), dan Kalimantan. Dengan demikian maka hanya
pada kawasan ini sajalah UU ini diberlakukan sampai tanggal 17 Agustus 1950
saat UUD sementara diberlakukan.
3. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957
Dalam perjalannya UU ini mengalami dua kali penyempunaan yaitui dengan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960. Adapun nama resmi dari system otoniomi yang dianut adalah sistem otonomi riil, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam memori penjelan UU tersebut. (Soejito;1976)
Ketentuan yang mencirikan tentang sistem otonomi yang dianutnya terdapat pada pasal 31 ayat 1,2 dan 3 sebagai berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya kecuali urusan yang
oleh Undang-undang diserahkan kepada peguasa lain.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan
termaksud dalam ayat 1 diatas dalam peraturan pembentukan ditetapkan
urusan-urusan tertentu yasng diatur dan diurus oleh dewan perwakilan Rakyat
Daerah sejak saat pembentukannya.
3. Denagn peraturan pemerintah
tiap-tiap waktu dengan memperhatikan kesanggupan dan kemampuan dari
masing-masing daerah, atas usul dari dewan perwakilan rakyat daerah yang
bersangkutan dan sepanjang mengenai daerah tingkat II dan III setelah minta
pertimbangan dari dewan pemerintah daerah dari daderah setingkat diatasny,
urusan-urusan tersebut dalam ayat 2 ditambah denga urusan lain.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa ciri-ciri system otonomi riil jauh lebih menonjol dibandingkan dengan yang tedapat dalam UU nomor 22 tahun 1948. karena itu tidak aneh jika banyak para ahli yang tetap menganggabnya sebagai sistem otonomi formil. Tetapi karena dualisme yang dianutnya seperti telihat pada pasal 31 ayat 2 diatas maka tidak salah juga unutk mengatakan bahwa UU ini menganut sistem yang dapat diberi nama sendiri yaitu sistem otonomi riil. (Sujamto;1990) Penyempurnaan pertama terhadap UU ini dilakukan berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun1959. pemberlakukan PP dilatar belakangi oleh kembalinya RI kedalam sistem Negara kesatuan dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui dDekrit Presiden 5 Juli 1959 menggantikan UUD Sementara tahun 1950. dalam peraturan ini daerah tetap dibagi dalam tiga tingkatan, namun dengan perbedaan bahwa Kepala Daerah I dan II tidak bertanggung jawab kepada DPRD I dan II sehingga dualisme kepemimpinan di daerah dihapuskan. Kepala Daerah berfungsi sebagi alat pusat di Daerah dan Kepala Daerah diberi kedududukan sebagai Pegawai Negara.
4. Undang-undang Nomor 18 tahun 1965
UU ini hampir seluruhnya melanjutkan
ketentuan yang ada dalam UU Nomor 1 tahun 1957 dan Penetapan Presiden Nomor 6
tahun 1959 serta Nomor 5 tahun 1960.
Dikatakan oleh Sujamto (1990) Seperti halnya UU Nomor 1 Tahun 1957 UU ini juga menyatakan diri menganut Sistem Otonomi Riil. Bahkan dalam penjelasan umumnya banyak sekali mengoper bagian dari penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun 1957.
Dalam pelaksanaannya meski konsepsinya menyatakan adalah penyerahan otonomi daerah secara riil dan seluas-luasnya, namun kenyataannya otonomi daerah secara kesel;uruhan masih berupa penyerahan oleh pusat.daerah tetap menjadi actor yang pasif.
Dikatakan oleh Sujamto (1990) Seperti halnya UU Nomor 1 Tahun 1957 UU ini juga menyatakan diri menganut Sistem Otonomi Riil. Bahkan dalam penjelasan umumnya banyak sekali mengoper bagian dari penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun 1957.
Dalam pelaksanaannya meski konsepsinya menyatakan adalah penyerahan otonomi daerah secara riil dan seluas-luasnya, namun kenyataannya otonomi daerah secara kesel;uruhan masih berupa penyerahan oleh pusat.daerah tetap menjadi actor yang pasif.
5. UU Nomor 5 tahun 1974
Berbeda dengan dua UU terdahulu ( UU
Nomor 1 tahun 1957 dan UU Nomor 18 tahun 1965) yang menyatakan diri menganut
sistem otonomi riil UU nomor 5 tahun 1974 tidak berbicara apa-apa mengenai
system otonomi yang dianutnya. UU ini menyatakan otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab bukan sebagai sistem atau faham atau pengertian akan tetapi
sebagai suatu prinsip. (Sujamto; 1990) Sebagaimana diketahui pada masa
pemerintahan Orde baru melakukan perombakan secara mendasar dalam
penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, melalui kebijakan yang
tertuang di garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1973, yang antara lain mengatakan :
a.
Asas
desentralisai digunakan seimbang dengan asas dekonsentrasi dimana asas
dekonsentrasi tidak lagi dipandang sebagai suplemen atau pelengkap dari asas
desentralisasi;
b.
Prinsip yang
dianut tidak lagi prinsip otonomi yang seluas-luasnya, melainkan otonomi yang
nyata dan bertanggungjawab. Di kemudian hari, MPR dengan ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1978 menambahkan kata dinamis di samping kata nyata dan
bertanggungjawab.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974,
otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan
yang berlaku. Dalam Undang-undang ini juga menganut prinsip otonomi yang nyata
dan bertanggung jawab. Prinsip ini dianut untuk mengganti sistem otonomi rill
dan seluas-luasnya yang dianut oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai
pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat dilihat dalam
beberapa pasal berikut :
1.
Pasal 5 yang
merupakan ketentuan yang belum pernah ada pada semua UU terdahulu yaitu yang
mengatur tentang penghapusan suatu daerah.
2.
Pasal 7 yang
berbunyi daerah berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah
tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku;
3.
Pasal 8 ayat
1 berbunyi “Penambahan penyerahan urusan pemerintahan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah”
4.
Pasal 9 yang
berbunyi “sesuatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dapat
ditarik kembali dengan pengaturan perundang-undangan yang setingkat. pasal 39
yang mengatur pembatasan-pembatasan terhadap ruang lingkup materi yang yang
dapat diatur oleh Peraturan Daerah.
Dari ketentuan-ketentuan diatas maka
terlihat sesungguhnya UU adalah menganut sistem atau ajaran rumah tangga
material . dalam UU ini tidak ditemukan ketentuan yang mengatakan tentang
gugurnya suatu Peraturan Daerah apabila materinya telah diatur dalam Peraturan
perundang-undangan atau dalam peraturan daerah yang lebih tinggi yang merupakan
ciri dari sistem rumah tangga formil.
6. UU Nomor 22 tahun 1999
Sebagaimana
UU Nomor 5 tahun 1974 dalam UU ini juga tidak dinyatakan secara gamblang
tentang sistem atau ajarang rumah tangga yang dianutnya. Unutk dapat mengetahui
sistem atau ajaran yang dianut kita harus melihatnya pada pasal-pasal yang
mengatur tentang pembatasan kewenangan atau luasnya urusan yang diberikan
kepada daerah.
Dalam UU sebutan daerah tingkat I dan II sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dihilangkan menjadi hanya daerah propinsi dan daerah kabupaten/ kota. Hierarki antara propinsi dan Kabupaten/ kota ditiadakan. Otonomi yang luas diberikan kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Sedangkan propinsi.
Dalam UU sebutan daerah tingkat I dan II sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dihilangkan menjadi hanya daerah propinsi dan daerah kabupaten/ kota. Hierarki antara propinsi dan Kabupaten/ kota ditiadakan. Otonomi yang luas diberikan kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Sedangkan propinsi.
Adapun
ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah
tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1.
Dalam pasal
7 dinyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lain.
2.
Dalam pasal
9 dinyatakan Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan
dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta
kewenangan yang tidak atau belum dilaksankan oleh kabupaten dan kota. Selain
itui kewenangan propinsi sebagai daerah administrative mencakup kewenangan
dalam bidang pemerintahan yanmg dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil
pemerintah pusat.
3.
Dalam pasal
10 ayat 1 daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia
diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai
dengan perundang-undangan.
4.
Dalam pasal
11 dinyatakan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7 dan
yang diatur dalam pasal 9.
Dari
uraian diatas terlihat sistem atau ajaran rumah tangga yang digunakan atau
danutnya adalah perpaduan antara ajaran rumah tangga material dan ajaran rumah
tangga formil. Dikatakan menganut ajaran materil karena dalam pasal 7, pasal 9
dan pasal 11dinyatakan secara jelas apa-apa saja yang menjadi urusan rumah
tangga yang merupakan ciri daripada sistem atau ajaran rumah tangga material.
Sedangkan dikatakan menganut pula ajaran formil antara lain terlihat pada pasal
10, pasal 70 dan pasal 81 didalamnya dinyatakan bahwa daerah kabupaten dan kota
memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di
wilayahnya. Selain itu dkatakan bahwa peraturan daerah daerah tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain dan peraturan
perundangan-undangan yang lebih tinggi yang meruapakan ciri daripada system
atau ajaran rumah tangga formil.
7. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004
Undang-Undang
RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun
2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437) disahkan dan
diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2004. Ketentuan Undang-Undang
ini mengandung prinsip otonomi seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi
urusan pemerintah yang ditetapkan undang-undang ini. Jadi, undang-undang ini
menganut sistem/ajaran rumahtangga materil (dalam Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang
No 32 Tahun 2004). Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan untuk memberi
pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang
bertuujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (berarti, undang-undang ini
menganut juga sistem formal), dalam pasal 10 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004 .
Prinsip nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan
dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah
ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi
daerah, bearti undang-undang ini juga menganut sistem riil (dalam Pasal 13 ayat
2 dan Pasal 14 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004).
Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Ditinjau
dari sudut hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat dilihat
dari Adanya hubungan dalam penye¬lenggaraan pemerintahan; Kebijakan
desentralisasi dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Bahwa tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan
urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah adalah menjadi tanggung
jawab Pemerintah Nasional (Pusat) karena externalities (dampak) akhir dari
penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung jawab negara. Peran Pusat
dalam kerangka otonomi Daerah akan banyak bersifat menentukan kebijakan makro,
melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, kontrol dan pemberdayaan (capacity
building) agar Daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal. Sedangkan
peran daerah akan lebih banyak pada tataran pelaksanaan otonomi tersebut. Dalam
melaksanakan otonominya Daerah berwenang membuat kebijakan Daerah. Kebijakan
yang diambil Daerah adalah dalam batas-batas otonomi yang diserahkan kepadanya
dan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi
yaitu norma, standard dan prosedur yang ditentukan Pusat. Pemerintahan daerah
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah
pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi:
a). Hubungan Pengawasan
b). Keuangan
c). Pelayanan
umum
d). Pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
A. Hubungan dalam bidang Pengawasan
Pada dasarnya kegiatan pengawasan ditujukan sebagai proses
pemantauan terhadap pelaksanaan kerja, pemantauan terhadap pelaksanaan
kebijakan, dan pemantauan terhadap hasil kerja bahkan dapat juga mendeteksi
sejauhmana telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan kerja tersebut. Selain
itu fungsi pengawasan pun lebih ditujukan untuk menghindari adanya kemungkinan
penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. Dalam kaitannya
dengan keuangan, pengawasan ditujukan untuk menghindari terjadinya korupsi,
penyelewengan, dan pemborosan anggaran. Ditinjau dari hubungan pusat dan daerah
dalam kerangka otonomi, pengawasan merupakan “pengikat” kesatuan agar kebebasan
otonomi tidak bergerak jauh dengan kata lain untuk kontrol kebebasan
berotonomi. Bentuk pengawasan dapat berupa pengawasan represif dan preventif.
Pengawasan tersebut dalam kronologi perundang-undangan ada yang secara tegas
mengatur ada pula yang belum mengaturnya. Dalam UU terdahulu yaitu UU No.1
tahun 1945 tidak (belum) mengatur pengawasan, baik represif maupun preventif.
UU No.22 Tahun 1948 menentukan wewenang pengawasan represif ada pada presiden.
UU No. 5 Tahun 1974 tidak mengatur dengan tegas organ pemerintahan yang
berwenang melakukan pengawasan represif.
Pengawasan dalam bentuknya yang represif dan preventif tidak
secara tegas dijelaskan dalam UU No. 32 tahun 2004, hanya saja
ditemukan/disebutkan dalam pasal 218 bahwasanya pengawasan atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah menurut ketentuan pasal 218 UU No. 32 tahun 2004,
dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi:
a. Pengawasan atas
pelaksanaan-urusan pemerintahan di daerah;
b. Pengawasan terhadap peraturan
daerah dan peraturan kepala daerah.
Untuk
pengawasan penyelenggaraan pemerintahan secara nasional dikoordinasikan oleh
Menteri Dalam Negeri. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah
untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur. Pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan desa dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota. Bupati dan walikota
dalam pembinaan dan pengawasan dapat melimpahkan kepada camat.
B. Hubungan
Dalam bidang keuangan
• Hubungan keuangan antara pempus dan pemda Pasal 15 ayat 1 UU No.32/2004 meliputi:
a. Pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah;
b. pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan
c. pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah
• Hubungan keuangan antara pempus dan pemda Pasal 15 ayat 1 UU No.32/2004 meliputi:
a. Pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah;
b. pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan
c. pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah
• Hubungan dalam bidang keuangan antar
pemerintahan daerah meliputi :
a. bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan daerah provinsi dan. pemerintahan daerah kabupaten/kota;
b. pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama;
c. pembiayaan bersama atas kerja sama antar daerah; dan
d. pinjaman dan/atau hibah antar pemerintahan daerah.
a. bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan daerah provinsi dan. pemerintahan daerah kabupaten/kota;
b. pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama;
c. pembiayaan bersama atas kerja sama antar daerah; dan
d. pinjaman dan/atau hibah antar pemerintahan daerah.
C. Hubungan
dalam bidang pelayanan umum
• Antara Pempus dan pemda (vertikal) meliputi :
a. kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal;
b. pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah; dan
c. fasilitasi pelaksanaan kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum.
• Antar pemerintahan daerah (horisontal) meliputi :
a. pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah;
b. kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelengaraan pelayanan umum; dan
c. pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum.
• Antara Pempus dan pemda (vertikal) meliputi :
a. kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal;
b. pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah; dan
c. fasilitasi pelaksanaan kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum.
• Antar pemerintahan daerah (horisontal) meliputi :
a. pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah;
b. kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelengaraan pelayanan umum; dan
c. pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum.
D. Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya
• Antara Pemerintah dan pemerintahan daerah
a. kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian;
b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan
c. penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan
• Antara Pemerintah dan pemerintahan daerah
a. kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian;
b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan
c. penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan
• Antar pemerintahan daerah (horisontal) meliputi :
a. Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah;
b. Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam. dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah; dan
c. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
Daerah yang memiliki wilayah
laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Daerah
mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar
dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan
daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut) meliputi:
a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan
pengelolaan kekayaan laut;
b. pengaturan administratif;
c. pengaturan tata ruang;
d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
b. pengaturan administratif;
c. pengaturan tata ruang;
d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya. Di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar