Kegiatan ekonomi berlangsung dengan
pesat tanpa terikat oleh batas-batas teritorial kenegaraan, itulah era
globalisasi yang sering diidentikkan dengan globalisasi ekonomi. Dibalik
kemoderenan dan kemajuan dalam globalisasi itu masih terdapat praktek-praktek
perilaku manusia yang tidak seharusnya dilakukan oleh manusia modern, salah
satunya adalah praktek perdagangan manusia. Dimana perdagangan manusia
merupakan bentuk modern dari perbudakan.
Praktik perdagangan manusia melanggar
hak asasi universal manusia untuk hidup, merdeka dan bebas dari semua
perbudakan. Suatu kenyataan yang tidak menyenangkan, bahwa ternyata Indonesia tidak
hanya sebagai negara asal untuk perdagangan orang, namun juga telah menjadi
negara tujuan dan negara transit. Hal ini dikarenakan letak Indonesia yang
strategis. Terdapat banyak penyebab perdagangan manusia dimana sebab-sebab ini
rumit dan seringkali saling memperkuat satu sama lain. Pelaku perdagangan orang
menyalurkan korban untuk berbagai tujuan seperti diperdagangkan untuk dijadikan
pekerja seks komersil, buruh, atau pekerjaan yang tidak dibayar.
Pemerintah Indonesiapun telah membuat
kemajuan signifikan untuk memberantas perdagangan orang dengan melahirkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang yang disebut UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO, yang
mengadopsi pendekatan komprehensif untuk mengatasi perdagangan manusia.
Pemenuhan hak atas korban yang diatur
dalam UU PTPPO memberikan kontribusi pada perlindungan hak atas korban bahwa
hak-hak korban penting dalam proses pemidanaan dan bukan menghukum pelaku saja.
Orang yang menjadi korban TPPO sebagaimana yang tercantum pada pasal 48 ayat 1
UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO memiliki hak untuk mendapatkan restitusi.
Tetapi Kenyataan di lapangan jarang
sekali bahkan sulit untuk dijumpai seorang korban TPPO untuk menerima
restitusi. Pasal 1 angka 13 mendefinisikan restitusi sebagai pembayaran
ganti kerugian yang di bebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil dan atau immaterial yang
diderita korban atau ahli warisnya. Tolak ukur untuk menentukan jumlah atau
besar kecilnya ganti kerugian tergantung pada status sosial pelaku dan korban,
dimana UU No. 21 Tahun 2007 tidak menentukan secara tegas.
1.2
Rumusan Masalah
- Apa saja faktor-faktor yang menghambat implementasi restitusi perdagangan manusia di Indonesia ?
- Bagaimana upaya/solusi pencegahan perdagangan manusia di Indonesia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar