Laman

Jumat, 04 Oktober 2013

IMPLEMENTASI RESTITUSI DALAM PERDAGANGAN MANUSIA DI INDONESIA




 1.1    Latar Belakang Masalah
       Kegiatan ekonomi berlangsung dengan pesat tanpa terikat oleh batas-batas teritorial kenegaraan, itulah era globalisasi yang sering diidentikkan dengan globalisasi ekonomi. Dibalik kemoderenan dan kemajuan dalam globalisasi itu masih terdapat praktek-praktek perilaku manusia yang tidak seharusnya dilakukan oleh manusia modern, salah satunya adalah praktek perdagangan manusia. Dimana perdagangan manusia merupakan bentuk modern dari perbudakan.
       Praktik perdagangan manusia melanggar hak asasi universal manusia untuk hidup, merdeka dan bebas dari semua perbudakan. Suatu kenyataan yang tidak menyenangkan, bahwa ternyata Indonesia tidak hanya sebagai negara asal untuk perdagangan orang, namun juga telah menjadi negara tujuan dan negara transit. Hal ini dikarenakan letak Indonesia yang strategis. Terdapat banyak penyebab perdagangan manusia dimana sebab-sebab ini rumit dan seringkali saling memperkuat satu sama lain. Pelaku perdagangan orang menyalurkan korban untuk berbagai tujuan seperti diperdagangkan untuk dijadikan pekerja seks komersil, buruh, atau pekerjaan yang tidak dibayar.
       Pemerintah Indonesiapun telah membuat kemajuan signifikan untuk memberantas perdagangan orang dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang disebut UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO, yang mengadopsi pendekatan komprehensif untuk mengatasi perdagangan manusia.

       Pemenuhan hak atas korban yang diatur dalam UU PTPPO memberikan kontribusi pada perlindungan hak atas korban bahwa hak-hak korban penting dalam proses pemidanaan dan bukan menghukum pelaku saja. Orang yang menjadi korban TPPO sebagaimana yang tercantum pada pasal 48 ayat 1 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO memiliki hak untuk mendapatkan restitusi.
       Tetapi Kenyataan di lapangan jarang sekali bahkan sulit untuk dijumpai seorang korban TPPO untuk menerima restitusi. Pasal 1 angka 13 mendefinisikan restitusi sebagai pembayaran ganti kerugian yang di bebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil dan atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya. Tolak ukur untuk menentukan jumlah atau besar kecilnya ganti kerugian tergantung pada status sosial pelaku dan korban, dimana UU No. 21 Tahun 2007 tidak menentukan secara tegas.

1.2    Rumusan Masalah
  1. Apa saja faktor-faktor yang menghambat implementasi restitusi perdagangan manusia di Indonesia ?
  2. Bagaimana upaya/solusi pencegahan perdagangan manusia di Indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar